Oleh: -

Naskah            : Giattri Fachbrilian

Foto                : Dokumen Pribadi

Sejak era reformasi, Lewa Pardomoan jatuh hati kepada wastra nusantara dan patung-payung antik khas Indonesia. Ia pun memiliki mimpi besar, kelak ia akan membuat museum atau buku mengenai koleksi kesayangannya tersebut.

Pria yang akrab disapa Lewa itu mengaku mulanya ia tidak peduli dengan kain-kain tradisional. Namun karena ia mewarisi darah batak dari sang ibu, mau tak mau ia harus bersinggungan dengan kain khas batak, ulos.

“Ketika kecil, saya sering datang ke acara adat dimana kain ulos dipakai. Jujur saya tidak menikmati acara-acara tersebut karena lama sekali apalagi saya juga tidak bisa berbahasa Batak. Ulos juga dipakai di upacara kematian. Jadi hal tersebut membuat saya tidak tertarik dengan adat istiadat dan juga kriya Indonesia,” ungkap pria yang dikenal sebagai wartawan di salah satu kantor berita internasional itu.

Namun keadaan berubah saat Lewa dewasa, seorang temannya dari Australia memperkenalkannya kepada keragaman seni kriya Indonesia, khususnya wastra Nusantara dan juga patung-patung khas Indonesia.

“Setelah itu saya mulai membeli buku dan pelan-pelan mengumpulkan lembar demi lembar kain adat sambil belajar juga dari pedagang serta museum. Intinya, saya mulai mengkoleksi barang seni Indonesia sejak 1998,” tutur Lewa.

Mayoritas koleksi Lewa saat ini adalah kain-kain adat Nusantara dari berbagai pulau dan budaya. Menurutnya, keragaman wastra Indonesia sungguh luar biasa. Selain batik sudah diakui oleh UNESCO dengan dimasukkan ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia. Indonesia juga kaya beragam kain adat yang dibuat dengan teknik ikat, songket, beserta teknik rumit lainnya seperti buna dan sotis di pulau Timor.

“Di koleksi saya ada kain-kain dari Lampung yang ditenun di akhir abad ke 19,” kata Lewa.

Tak hanya itu, Lewa juga memiliki berbagai macam kriya mulai dari patung dari Jawa dan Bali hingga barang-barang yang terbuat dari manik manik yang dibuat di awal abad ke 20.

Bagi Lawe yang paling menarik dari proses mengumpulkan koleksi kesayangannya tersebut saat dirinya berburu.“Apakah itu kain atau patung, di tempat mereka dibuat.  Kedengarannya romantis sekali,” ungkap Lewa.

Sayangnya, lanjut Lewa, sekarang ini banyak kriya yang sudah tidak dibuat lagi atau sudah dijual dan dibawa keluar Indonesia.

“Biasanya saya mendapat kain-kain lawas dari pedagang antik di Jakarta, dan Bali. Tetapi ada juga kain-kain yang saya dapat di Amsterdam, Singapura dan Sydney, Kuala Lumpur dan Penang,” terang Lewa.

Lewa mengisahkan pengalaman paling menarik yang ia alami saat “berburu” kain atau barang seni kriya lainnya. Beberapa tahun lalu, ia ada tugas di Penang, Malaysia, ia menyempatkan diri mampir ke satu toko antik.

“Saya melihat satu tumpukan batik di dalam lemari. Jika dilihat sekilas, batik- batik tersebut biasa saja. Tetapi karena mata saya sudah terlatih, saya melihat satu-dua kain batik Pekalongan yang luar biasa halusnya. Karena yang menjual tidak mengerti, saya mendapatkan batik tersebut dengan harga murah sekali,” kenang Lewa sembari tersenyum sumringah.

Lewa juga mengatakan saat berburu ia mendapatkan kain dari anjungan Timor Timur sebelum referendum kemerdekaan di tahun 1999.