Corruption, Human Common Enemy

Oleh: content (Administrator) - 01 April 2013
Naskah: Andi Nursaiful / Berbagai Sumber, Foto: Istimewa

Di antara begitu banyak kelebihan dan keunggulan yang dimiliki bangsa dan Negara ini –SDA, populasi, lansekap alam, seni budaya, dll-, terselip satu borok lama yang tak kunjung sembuh: korupsi. Persoalan serius nan akut ini selalu saja mempermalukan wajah Pertiwi dari tahun ke tahun, dan menjadi akar dari kebangkrutan dan kemiskinan negeri. Meski korupsi di Tanah Air sudah membudaya, bahkan sudah ada Bumi Nusantara sebelum republik ini lahir, tak boleh ada kata menyerah dalam memberantasnya. Setitik asa kini muncul sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai berfungsi. Oleh sebab itu, lembaga ini tak boleh mati, biar langit runtuh sekalipun.

Artikel ini tidak berusaha memberikan cara dan metode terbaik dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Melainkan sekadar ingin memperluas wawasan Anda tentang apa sesungguhnya yang menjadi musuh bersama umat manusia, sekaligus mengingatkan siapa saja bahwa korupsi bukannya tidak bisa diberantas.


Secara tipologi, korupsi memiliki tujuh makna berbeda. Ada yang disebut korupsi transaktif (transactive corruption), korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi investif (investive corruption), korupsi perkerabatan (nepostic corruption), korupsi defensive (defensive corruption), korupsi otogenik (otogenic corruption), dan korupsi dukungan (supportive corruption).

Dari ketujuh tipologi itu, empat pertama yang sering melibatkan institusi pemerintahan dan swasta di negeri ini. Korupsi transaktif merujuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah pihak, dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.

Jenis korupsi memeras adalah jenis korupsi di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya.

Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu. Sedangkan korupsi nepotisme adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk lain, yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku.

Jenis korupsi memeras adalah jenis korupsi di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan hal-hal yang dihargainya.

Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu. Sedangkan korupsi nepotisme adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk lain, yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku.

Sesungguhnya, korupsi lahir seiring lahirnya peradaban manusia. Hampir semua bangsa berhadapan dengan masalah ini, dan menjadi salah satu problem utama bagi setiap negara di dunia, tak peduli negara maju, berkembang, apalagi terbelakang.

Penyakit Klasik
Sejarah menunjukkan, hampir setiap peradaban kuno dunia pernah mengalami masalah korupsi. Mulai dari Mesir kuno, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan hingga Romawi kuno. Hammurabi dari Babilonia yang naik tahta sekitar tahun 1200 SM, misalnya, memerintahkan salah seorang gubernur untuk menyelidiki satu perkara penyuapan. Disebutkan bahwa hukum Hammurabi mengancam beberapa bentuk korupsi oleh pejabat pemerintahan dengan hukuman mati.  Kemudian seorang raja Assiria sekitar tahun 200 SM bernama Shamash, tercatat pernah menjatuhkan pidana tegas kepada hakim yang terbukti menerima suap.

G.R Drdriver J.C. Miles dalam menerjemahkan The Babilonian Constitution menyebut perilaku korup mencapai puncak kesempurnaannya sejak sekitar tahun 1200 SM. Kautilya (abad ke-4 SM), perdana menteri Maurya yang paling terkenal sangat menaruh perhatian terhadap korupsi. Dia selalu menekankan pentingnya moralitas dan kejujuran. Pegawai negara dan keluarganya yang bertindak korup diganjar dengan hukuman mati. Sebagian lain diusir dari kerajaan dan disita harta kekayaannya.

Di masa-masa kuno itu, korupsi dipandang sebagai tindakan amoral dan pelakunya harus mendapatkan ganjaran sangat berat. Hukum moral, bagi masyarakat kuno ini sangat dipatuhi. Di samping memiliki daya paksa, hukum moral juga dipandang sebagai representasi keterlibatan Tuhan dalam persoalan sosial tertentu, karena itu pelakunya tidak bisa diampuni. Pertimbangan semacam itu yang membuat Gaius Verres (115-43 SM), pejabat Romawi Kuno yang terbukti korupsi, diasingkan sekaligus dibunuh.

Kembali ke masa kini, sanksi moral rupanya tak lagi efektif  untuk mencegah korupsi sejak dini. Di Indonesia, misalnya, seperti dikeluhkan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad  dalam sebuah wawancara khusus dengan Majalah Men’s Obsession, ada sejumlah mantan koruptor yang bisa kembali terjun ke tengah-tengah masyarakat, bahkan memperoleh posisi dalam sebuah kelembagaan. “Ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat sudah mulai permisif terhadap pelaku korupsi,” begitu kata Abraham Samad.

Budayawan terkemuka Prof. Umar Kayam (alm) dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar di UGM pada 1989 juga menilai bahwa secara budaya masyarakat kita cenderung permisif terhadap praktik korupsi. Katanya, pejabat publik yang menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kerabat, secara budaya dianggap sebagai ungkapan kebaikan hati dan bukan korupsi. Secara budaya, korupsi juga disalahpersepsikan sebagai ekspresi kekuasaan.

Alejandro Moreno, dalam tulisan berjudul Corruption and Democracy: A Cultural Assessment (2010) menegaskan hal yang sama. Penelitiannya di lebih dari 60 negara di dunia menunjukkan bahwa demokrasi dan keterbukaan ternyata tidak menggerakkan masyarakat untuk bangkit melawan korupsi, persis ketika sikap permisif itu ada sebagai lapis kesadaran yang sulit dihilangkan. Ini juga yang menurut Ali Moeen Nawazish dalam Why Does Corruption Persist in Democracy (2010), menjadi salah satu sebab kenapa pemberantasan korupsi di Pakistan tidak pernah berhasil sejauh ini.