Tiga Rupa Rajawali Menolak Takdir

Oleh: Giatri (Editor) - 06 June 2016

Naskah: Giattri Fachbrilian

 “3 Rupa Rajawali” adalah pameran yang dihelat tiga purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Udara, Marsma (purn.) Akbar Linggaprana, Marsda (purn.) Sudjadijono, dan Kolonel (purn.) Totok Sudarto. Mereka seperti “menolak takdir” karena antara jatidiri sebagai militer yang dilakoni selama puluhan tahun relatif berbeda jauh dengan watak sebagai seniman.

“Sebutan ‘rajawali’ bagi Angkatan Udara atau penerbang pada umumnya sudah tidak asing lagi,” ujar kurator seni rupa Kuss Indarto.

Dunia militer selalu diidentikkan dengan kedisiplinan, ketegasan, kecepatan, untuk memutuskan sesuatu hal, keseragaman, dan semacamnya. Di lain sisi, dunia seni penuh relativitas yang diasumsikan mengabaikan ihwal kedisiplinan, menjauhi soal ketegasan, sulit berdamai dengan disiplin waktu, dan sebagainya.

Lewat 60 karya lukisan karena masing-masing pelukis memajang 20 lukisan, ketiga pelukis ingin mengabarkan kepada khalayak luas, meski dibekali pendidikan militer yang keras namun mereka tetap memiliki hati nurani yang lembut yang tercurahkan lewat goresan-goresan kuas di atas kanvas.

Akbar Linggaprana, purnawirawan berbintang satu yang masuk ke dunia militer lewat jalur militer sukarela (milsuk), selepas ia mementaskan studi di akademi seni rupa, ASRI Yogyakarta. Meski ia masuk dunia kemiliteran, ia ditempatkan di bagian penerangan yang memungkinkannya mendapatkan akomodasi seni rupa.

Di bagian penerangan itu, dunia seni rupa yang beberapa tahun pernah ditekuninya sesekali mendapat porsi untuk digarap, meski bukan seni rupa murni (fine art), namun lebih sebagai ungkapan seni yang diterapkan (applied art).

Sudjadijono, beberapa tahun sebelum memutuskan masuk ke lembaga pendidikan militer, pernah menimba ilmu di Sekolah Menengah Seni Rupa (red. Sekarang SMKN 3, Kasihan Bantul, Yogyakarta). Jack sapaan akrabnya, hanya duduk di bangku SMSR selama 3 bulan hingga akhirnya berpindah jalur pendidikan. Latar sejarah personal ini sedikit banyak memberi gambaran proses Jack untuk masuk dalam dunia kreatif seperti sekarang ini bukan hadir dari ruang hampa.

Totok Sudarto, ketika mengawali karier di dunia militer, bersama Jack, ia banyak berkegiatan di sektor yang memungkinkan dirinya membuat dekorasi panggung, ilustrasi, gambar, atau segala hal yang berkaitan dengan itu di unit lingkungan kecilnya di TNI AU. Ini terus terbawa di lingkungan berikutnya.

Termasuk ketika ia memutuskan untuk mengundurkan secara baik-baik dari dunia militer-beberapa tahun sebelum usia pensiun resmi tiba dan kemudian berkarier di dunia politik, gairah untuk berseni rupa seperti menemukan arus utamanya.

Ketika menjadi pejabat politik, yakni Wakil Bupati Bantul, D.I, Yogyakarta, ia memiliki cukup waktu untuk melukis. Bahkan mengajak para seniman seni rupa yang banyak menetap di kawasan Bantul, Totok berpameran di rumah dinas Wakil Bupati.

Kalau dicoba menurut titik temunya, keputusan Totok mengundurkan diri sebagai Wakil Bupati Bantul yang hanya dilakoninya kurang dari separuh durasi semestinya, bisa jadi merupakan ekspresi kesenimanannya yang tidak peduli dengan bangunan reputasi formal yang tidak mudah didapat atau kecuekannya terhadap garis hierarki sosial, yang pasti diperoleh ketika menjabat kala itu. Semua diabaikannya.

Diantara Tiga Rajawali ini, tentunya ada kesamaan dan perbedaan. Ada kesamaan jiwa, semangat korps yang mereka kukuhi sehingga tetap mempersatukan mereka melampaui masa bakti selaku tentara. Tetapi tentu juga tampak jelas individualitas dan personalitas mereka masing-masing. Itu bisa dilihat dalam ruang pamer “Tiga Rupa Rajawali” di Taman Budaya Yogyakarta pada 11-19 Mei 2016.

Karya Totok, kata Kuss, lahir dalam ekspresi yang kuat dengan melahirkan karya yang cenderung ekspesif. Menilik hampir semua karyanya, apresian akan bisa langsung menduga titik penting yang diperlukan dalam praktik melukis seorang Totok adalah kemampuannya untuk mengolah dan mengontrol emosi.

“Kontrol itu diperlukan untuk ‘mengaransemen’ problem visual mendasar yang tertoreh dalam kanvas, yakni bagaimana komposisinya, keseimbangan antar warna yang ada di atas kanvas, dan sebagainya. Saya sendiri sebetulnya cukup ragu dengan dugaan ini karena ketika melukis dengan pelibatan emosi, sistem kontrol itu menjadi sebuah gelagat intelektualitas tersendiri,” terang Kuss.