Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Moeldoko DARI PANGLIMA TNI KE PANGLIMA TANI

Oleh: Iqbal Ramdani () - 20 November 2017

Selama ini Moeldoko dikenal sebagai sosok yang tegas, namun di sisi lain ia adalah pribadi yang berhati lembut dan murah senyum. Ia pun begitu menghormati sosok ibunda dan istrinya. “Menurut saya kehidupan keluarga saya itu menjadi tonggak pertama. Kenapa saya bisa menjadi seperti ini. Ada kondisi yang antagonis di rumah. Ayah saya adalah sosok yang keras. Padahal ayah saya itu sipil. Tapi beliau di kampung sebagai jogo boyo, itu adalah jabatan yang menjaga keamanan, tegas, hahaha,” ujarnya.

 

Sementara sang ibu berhati lembut, merawat Moeldoko penuh dengan kasih sayang. “Nah, kondisi paradoks itulah muncul. Saya jadi perwira yang kuat, pada sisi yang lain saya memiliki empati yang sangat tinggi pada lingkungan. Jadi balance,” tuturnya. Roda nasib selalu berputar.Tidak ada yang bisa memprediksi nasib seseorang bertahun-tahun ke depan kecuali Tuhan. Seperti Moeldoko, terlahir dari keluarga petani yang miskin. “Saya 12 bersaudara, 4 meninggal saat kecil, dari 8 saya yang paling akhir. Saat duduk sekolah menengah pertama jarak sekolah saya 7 km, orangtua saya beli sepeda saja tidak sanggup, sehingga saya untuk ke sekolah jam setengah 5 saya harus lari ke stasiun dari rumah,” kenangnya. Mirisnya, saat ingin pulang sekolah, ia mesti menunggu truk yang mengangkut kopra dari pabrik. “Kan lapar, kadangkadang saya menyuri kopra untuk dimakan.

 

Memang masih ada rasa kelapanya, tapi sangat pahit. Jadi tidak mengada-ngada kondisi saya waktu itu begitu sulit,” imbuh Moeldoko dengan mata berkaca-kaca. Sang ibu, selalu menunggu dengan sabar Moeldoko pulang sekolah di pinggir sungai. Memang kata Moeldoko, sang ayah bekerja sebagai pamong desa, tapi karena tidak bisa mengelolanya dengan baik sehingga beberapa disewakan. “Namun ada hal positif yang beliau ajarkan kepada saya biar mandiri. Pagi-pagi jam 5, setelah sholat subuh, kalau lagi libur sekolah, saya diajak ke sawah. Jadi kita menanam, memanen, dan menjual padi sendiri. Meski begitu Bapak tidak membolehkan saya untuk menyangkul dan motong rumput,” tuturnya.