Search:
Email:     Password:        
 





Soe Hok Gie, Dari Sisi Seorang Sahabat

By Giatri () - 28 October 2013 | telah dibaca 5172 kali

 

Naskah: Giatri Fachbrilliant  Foto: Dok. MO

“Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa, tapi seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran!"  Gie

Secara fisik Soe Hok Gie memang sudah tiada. Tapi semangat dan inspirasinya untuk berani melawan ketidakbenaran tetap bersemayam dalam diri generasi muda, khususnya mahasiswa. Ia adalah bagian dari sejarah yang tak hanya diceritakan dalam buku tapi juga pada sebuah karya sinema garapan sutradara Riri Riza dengan judul “Gie” pada tahun 2005.

Mengenang kembali perjalanan hidup Gie menjadi cerita yang menarik dan sarat dengan nilai-nilai heroisme ala mahasiswa. Setidaknya, itu tercermin dari cerita sahabat karib Soe Hok Gie, Herman O. Lantang, saat ditemui oleh Men’s Obsession. Pria yang kerap disapa Opa tersebut juga memaparkan kisah hidup Soe Hok Gie sebagai aktivis mahasiswa hingga ajal menjemputnya di Mahameru. 

Awal pertemuan Opa dengan Gie adalah ketika Gie masuk Fakultas Sastra Universitas Indonesia di Rawamangun (akhir 1962) sebagai mahasiswa baru di jurusan Sejarah. “Tidak ada yang istimewa tentang dirinya ketika saya mengenalnya pertama kali, sama halnya seperti mahasiswa baru lainnya,” kenang Opa.

Setahun berselang barulah Opa menjadi akrab dengan Gie karena banyak nilai dan pandangan hidup keduanya yang cocok. Apalagi setelah suami dari Joyce Moningka tersebut mengetahui bahwa Gie juga dekat dengan sahabat karibnya di SMA Negeri I Budi Utomo, yakni Boellie Londa. “Mereka sama-sama pengagum Sutan Syahrir dan simpatisan Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS),” terang penyuka cokelat itu.

Hubungan keduanya kian erat tatkala Opa terpilih sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI pada Desember 1964. Gie menjadi penasehat pribadinya dengan jabatan resmi sebagai Pembantu Staf Ketua Senat Mahasiswa. “Jujur saat itu saya memang agak cuek dengan pemerintahan, tapi Hok Gie sangat konsis terhadap nasionalis-kebangsaan, bahkan ia menunjukkan bahwa kita semua sudah miring ke komunis,” jelas Opa. 

Ketika itu, lanjut Opa, PKI (Partai Komunis Indonesia) dan berbagai organisasi sayap bentukannya, seperti, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Pemuda Rakyat, SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia), dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) tengah diberi hati oleh Presiden Sukarno dengan konsep Nasakom-nya hingga mereka merasa kuat dan mulai unjuk gigi.

Di Senat Mahasiswa FSUI, CGMI menuntut HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan GMSOS keluar dari Senat Mahasiswa sebab dianggap kontra revolusioner. Namun Senat Mahasiswa FSUI bertindak tegas membela hak azasi mahasiswanya. “Silakan ber-ormas apa saja di luar karena itu merupakan hak masing-masing individu, tetapi di dalam Senat Mahasiswa, kita satu almamater,” tegas Opa.

Saat peristiwa pemberontakan G30S/PKI terjadi, Gie, Opa, dan rombongan yang tergabung dalam Organisasi Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) UI sedang mendaki Gunung Merapi. “Dalam rombongan kami, kebetulan terdapat dua anak Jenderal, yaitu Endang Sutjipto (anak Jenderal Sutjipto, SH dari Angkatan Darat) dan Yayu Surtiati (anak jendral polisi). Menjelang 1 Oktober 1965, kami terpaksa menginap di Stasiun Gambir sebab di Jakarta sedang berlaku jam malam. Di akhir tahun 1965 anggota-anggota Ormas komunis dan oposisi mulai menghilang satu persatu,” kisah Opa.

Pada 9 Januari 1966, sebelum adanya aksi-aksi mahasiswa di Salemba 4, Gie mengusulkan agar Senat Mahasiswa FSUI mengadakan “aksi mogok” dengan tidak menggunakan kendaraan umum, tetapi berjalan kaki dari Salemba ke Rawamangun, sebagai protes akan kenaikan harga bensin dan kebutuhan pokok. 

“Dalam kegiatan aksi mahasiswa, biasanya saya yang mengkoordinir dan memimpin massa gabungan dari Mahasiswa Fakultas Satra dan psikologi di lapangan, sedangkan Hok-gie bergerak di belakang layar sebagai pemikir dan otak yang mengatur strategi pelaksanaan aksi (dibantu Boellie Londa dan Jopie Lasut). Ia juga berbakat sebagai pengompor massa dengan pidato atau tulisan-tulisannya di koran yang tegas, jujur, berani, blak-blakan, dan berapi-api. Biasanya kalau massa sudah terkumpul, maka ia saya persilakan angkat bicara, dan di sinilah kharismanya akan muncul ketika ia mulai beragitasi dengan berani dan meyakinkan, membuat orang terpukau kagum mendengarkannya,” kenang Opa.

Pada periode Senat Mahasiswa FSUI yang kedua (1965-1966), sebagian oknum ormas-ormas ekstra universiter yang merasa dirinya sebagai pahlawan, membentuk komisariat KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) di FSUI. Di sini mereka mendadak mulai vokal seperti yang terjadi di KAMI pusat.

Pada mulanya, Salemba 6 dikenal sebagai Pusat kegiatan KAMI atau DMUI (Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia), di mana jaket kuning sangat menonjol. Lama-lama mulai dicampur dengan seragam universitas-universitas lain, kemudian beralih ke baju loreng KAMI, apalagi ketika dibagi dalam rayon masing-masing, seperti Rayon Yani, Haryono, dan seterusnya.

Setelah 11 Maret 1966, perlahan-lahan golongan almamater jaket kuning berangsur-angsur kembali ke kampus untuk melanjutkan studi, sedangkan sebagian tinggal, bahkan kemudian ada yang mulai menggabungkan diri dengan penguasa (pemerintah). “Sehingga terkontaminasi idealisme semula,” ujar Opa.

Akhir tahun 1966, SMUI dijatuhkan oleh Koalisi Ormas ekstra universiter. Pada periode 1966-1967, Ketua Senat SMFSUI berasal dari PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), Wakilnya dari PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), sementara Sekjennya dari HMI.

"Kerjanya rapat melulu, juga banyak seksi yang kinerjanya tidak ada. Periode berikutnya, 1967-1968 balik lagi ke golongan almamater, di mana Gie terpilih sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa, dengan staf yang sedikit tetapi efesien dan berfungsi,” kata Opa.

Gie dan Mahameru
Gie bersama Opa termasuk pendiri Mapala UI. Pria kelahiran 17 Desember 1942 itu juga tercatat menjadi leader Mapala UI untuk misi pendakian Gunung Slamet di Jawa Tengah.

Pada 16 Desember 1969, Gie bersama Opa, Aristides Katoppo, Freddy Lasut, Wiwiek Wiyana, Maman, dan Idhan Dhavantari Lubis melakukan misi pendakian ke Gunung tertinggi di Jawa, yakni Gunung Semeru yang mempunyai ketinggian 3.676 mdpl.

Banyak rekannya yang menanyakan kenapa ia ingin melakukan misi tersebut. "Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai Tanah Air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung,” Gie mener
angkan.

Pada tanggal 8 Desember, sebelum berangkat, Gie sempat menuliskan catatannya. “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya setelah mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru. Dengan Maria, Rina, dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.”

Gie meninggal di puncak Gunung Semeru pada tahun 1969, tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27. Gie meninggal akibat menghirup asap beracun di puncak gunung tersebut. Ia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. 

Pada 24 Desember 1969, Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975, Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga makam Gie harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika ia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango, Jawa Barat.

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.” Gie.

Add to Flipboard Magazine.

Tulis Komentar:


Anda harus login sebagai member untuk bisa memberikan komentar.

                       
   

Popular

Photo Gallery

Visitor


Jumlah Member Saat ini: 233250