Ketika Datuk Bagindo Presiden Melihat Kenyataan Pahit

Oleh: Giatri (Editor) - 28 September 2015

Inilah kisah tentang bagaimana presiden jujur dan merakyat yang berasal dari Minangkabau, menghadapi para menteri dan birokrat di sekelilingnya yang korup dan des-potik. Hal itu lantas membuat presiden sadar kejujuran bukanlah satu-satunya modal untuk memimpin. 

Lengkingan gitaris Ian Antono menembangkan irama lagu “Gugur Bunga” dengan komposer Yaser Arafat, begitu menyayat. Keterpukauan akan permainan senar musisi legendaris ini membuka pintu penampilan tentang kisah Wakil Presiden Indonesia Fadli dilantik menjadi presiden, menggantikan pendahulunya yang meninggal di tengah kepemimpinan.

Alkisah, Fadli adalah sosok jujur yang berusaha menjalankan tradisi Minangkabau dalam mengatur pemerintahan. Kejujuran, amanah, dan tanggung jawab adalah hal yang harus dipikul oleh setiap anak Minang. Setiap kerakusan duniawi tidak boleh dilakukan kecuali kerakusan terhadap ilmu pengetahuan. Presiden Fadli mulai menyusun kabinet dengan harapan para menterinya dapat menerjemahkan instruksinya. Akhirnya, terpilihlah para menteri kabinet dan staf-staf kepresidenan. 

Tapi persoalan dalam politik rupanya tidak sesederhana yang ia sangka, karena ia dikelilingi bermacam kepentingan. Para staf kabinet, menteri, dan birokrat yang ada disekitarnya, ternyata membawa kepentingannya masing-masing.

Saat memikirkan berbagai persoalan yang pelik, ia kerap didatangi sosok yang hanya bisa dilihatnya. Hal tersebut membuat Fadli tampak sering berbicara sendiri memanggil sosok itu bahkan di tengah rapat bersama menteri kabinet. Kemudian, hal itu menjadi pergunjingan. 

Pada suatu kesempatan, Fadli ini pulang kampung. Karena ingin bertemu ibunya. Ia disambut meriah, semua bangga, tetapi ibunya menyambut dengan biasa dan sederhana. “Saya sudah jadi Presiden, mak” katanya. “Ah, jadi sekarang gelarmu Presiden? Mestinya kalau gelar itu ya mesti panjang, jangan cuma Presiden. Apa hebatnya kalau cuman bergelar Presiden, mestinya kau bergelar Datuk Bagindo Presiden,” jawab sang Bunda. Sejak itulah ia dikenal dengan gelarnya itu.

Saat pulang kampung itulah, Datuk Bagindo Presiden mulai melihat banyak kenyataan pahit, kampungnya yang masih terbelakang, kemiskinan dan banyak persoalan sosial. Ternyata, selama ini, program yang dijalankan tidak pernah berhasil karena selalu diselewengkan oleh bawahannya. Maka Presiden pun tak sekedar blusukan, tapi menyamar seperti dulu yang dilakukan Khalifah Umar Bin Khatab: datang langsung ke rakyatnya, menanyakan persoalan hidup mereka, lalu menyelesaikannya. Semua itu dilakukan dengan menyamar.

Apa yang dilakukan Datuk Bagindo Presiden mencemaskan orang-orang disekelilingnya yang korup. Mereka pun berusaha menghentikan kegiatan penyamaran sang presiden itu. Intrik pun dilakukan, agar kegiatan menyamar itu tidak berhasil membantu rakyat. Mampukah seorang yang jujur dan punya niat tulus seperti Datuk Bagindo Presiden berada di tengah-tengah lingkungan yang korup? itulah pertanyaan dasar dari pertunjukan ini, yang mencoba memotret perjuangan moral di tengah sistem dan lingkungan yang telah sedemikian korup.