Menjawab Kegelisahan Pencak Silat

Oleh: Giatri (Editor) - 25 October 2015

Naskah: Giattri, Foto: Tanto

Sepertinya pencak silat tidak menjadi tuan di rumah sendiri, begitu Rosalia Sciortino Sumaryono selalu mengemukakan kegalauannya. Dan, Salah satu cara untuk menjawab kegelisahan itu, digelarlah Pameran “Ekspresi Keindahan Rasa dan Bentuk dalam Gerak Pencak Silat” di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu.

Ide pameran ini tercetus setelah pematung senior Dolorosa Sinaga diminta membuat sebuah patung tentang silat sekaligus dengan tokohnya O’ong Maryono, mantan atlet silat legendaris kelahiran Bondowoso, 28 Juli 1953. Sejak 1979.

Seniman yang turun berasal dari berbagai daerah dan beragam usia. Ada yang senior, ada juga yang baru. Di antaranya Tanto Adjie, Taufan A.P., Indra Gunadharma, Ady Putraka Iskandar, Galang Aldinur Masabi, dan Handhika Ibnu Sanjaya. “Sebagian dari mereka diundang untuk ikut pameran, sebagian mendaftar sendiri,” ujar Lia.

Persiapan pameran, tutur Dolorosa, berlangsung sejak setahun lalu. Seniman-seniman diajak untuk membuat karya yang berkaitan dengan pencak silat. Mereka dipersilakan jalan sendiri untuk mencari referensi dan inspirasi soal pencak silat. Masing-masing perupa dibolehkan memajang maksimal tiga karya. “Ini adalah pameran patung tentang pencak silat yang pertama di Indonesia. Mungkin juga di dunia,” kata Dolorosa.

Mengapa harus pameran yang terkait dengan pencak silat? Karena, pencak silat itu beladiri yang unik dalam menggabungkan berbagai gerakan olahraga dan bermacam jurus bela diri dengan unsur seni, teknik pernapasan, dan kesadaran spiritual.

Rosalia, sang pendiri O’ong Maryono Pencak Silat Award, itu lebih lanjut mengatakan, hal menarik lainnya adalah secara paradoksal, kesatuan kaidah pencak silat justru terdiri dari inti yang sangat bervariasi, tergantung gerakan dan teknik dasar mana yang diutamakan dalam kombinasi tersebut. Keanekaragaman ini terwujud dalam ratusan gaya aliran, perguruan, jurus dan gerak dengan makna, rasa, dan bentuk estetika yang beranekaragaman pula.

Perbedaan ini seharusnya dianggap bagian integral sekaligus refleksi dari budaya Indonesia sendiri, sehingga perlu dirawat, dilestarikan serta dikembangkan agar pencak silat dapat mengikuti jaman dan rentang waktu. “Bila tidak, waktu akan membinasakan sehingga kita bisa kehilangan kearifan lokal yang unik ini, roh budaya dan bangsa juga akan terhapus,” tandasnya.

Apalagi gerak silat dengan seni membuat patung sebenarnya banyak persilangan. Dalam silat, terkandung elemen gerak, bentuk, jiwa, dan rasa. “Begitu pula dalam mematung,” ujar Dolorosa.

Lia berharap semoga upaya ini menjadi satu dengan usaha-usaha gerakan praktisi pencak silat untuk menarik perhatian publik dan pemerintah yang sedang dirintis di Indonesia, seperti Pencak Silat Malioboro Festival di Yogyakarta serta acara dan forum pencak silat tradisi lain. “Agar pada satu saat yang tidak terlalu jauh kita dengan bangga dan percaya diri dapat mengatakan pencak Silat telah menjadi tuan di rumah sendiri,” pungkasnya. **