Lakon Rusia Beraroma Jawa

Oleh: Giatri (Editor) - 26 November 2015

Naskah: Giattri/Khadinda, Foto: Tanto

Apa jadinya ketika Teater Koma menyuguhkan lakon Rusia klasik yang dipublikasikan tahun 1836“Inspektur Jenderal” karya Nikolai Gogol dengan konsep khas pewayang Jawa?

Sutradara Nano Riantiarno menyadur naskah "Revizor" yang pernah membuat Kekaisaran Rusia geger karena dianggap sebagai kritik vulgar terhadap pemerintahan yang korup dengan memasukan unsur jawa yang kental tanpa menghilangkan nuansa eropanya.

“Ini adalah pertama kalinya naskah tersebut dipentaskan oleh Teater Koma. Secara garis besar ceritanya tidak akan jauh berbeda, hanya tokoh-tokohnya akan dibawakan menjadi wayang sehingga masih menggambarkan kondisi Indonesia. Wayangan adalah siratan lakon manusia. Sebuah bentuk kesenian yang memiliki berbagai kemungkinan untuk ditafsir secara imajinatif. Tafsir manusiawi,” ujar Nano.

Tiga gunungan berukuran besar dan berwarna cerah menjadi latar belakang produksi ke-142 dari Teater Koma itu. Wayang kulit berjejer menghiasi panggung. Dialog dalam langgam dalang kadang dilantunkan oleh pemainnya. Sementara, kostum yang dikenakan adalah campuran busana klasik eropa dengan wastra nusantara batik.

Mereka yang antikorupsi, para panakawan perempuan, mengenakan kostum berwarna-warni, yaitu merah, merah jambu, hijau, biru, dan jingga. Sedangkan kostum hitam putih yang dikenakan oleh Walikota hingga pejabat di negeri Astina Pura pun tak kalah menarik. Kostum tersebut, kata Nano, diartikan sebagai orang-orang yang melakukan korupsi berjamaah.

“Tapi, putih tidak selalu suci dan benar, serta hitam bukan bermakna kotor. Perbedaan ini yang agak nyaru di Inspektur Jenderal dan baru mengerti setelah menontonnya," imbuhnya.

“Inspektur Jenderal” dibuka dengan aksi kocak lima panakawan yang membuat gelak tawa penonton. Mereka adalah Limbik, Canguk, Plitit, Srikayon, dan Bunguk. Mereka orang Astina, anggota Pasukan Elit Canguk. Masing-masing memiliki ciri khas daerah Indonesia, ada yang bicaranya nyablak ala Betawi, lemah lembut bertempo lambat seperti perempuan Jawa, ada juga yang menggunakan logat kental Bali dan Sunda.

Alkisah Ananta Bura, wali kota sebuah kota kecil, pusing tujuh keliling saat mendengar akan ada Inspektur Jendral dari pusat kerajaan Astinapura untuk menyelidiki kota yang dipimpinnya. Alasannya Astinapura akan berperang melawan Amarta.

Berita lain datang, ada seseorang yang diduga sebagai Inspektur Jendral. Dia adalah Anta Hinimba seorang pemuda yang baru datang dari Astinapura. Dengan penuh penghormatan Walikota menyambut Anta Hinimba untuk tinggal dirumahnya. Di pihak lain, para pejabat sibuk dengan ketakutannya sendiri. Tak ada cara lain, Walikota hingga pejabat daerah akhirnya berusaha menyuap seseorang yang diyakini sebagai Inspektur Jendral tersebut.

Di akhir cerita semua kebingungan. “Siapa yang bilang dia Inspektur Jendral?” teriak sang walikota. Semua pejabat pun saling menyalahkan. Tak ketinggalan Nakuli dan Sadiwi yang ketakutan karna telah menyakinkan Walikota bahwa Anta Hinimba adalah Sang Inspektur Jendral yang asli. Semua pejabat panik. Uang mereka telah digunakan untuk menyuap sang Inspektur Jendral palsu. Utusan raja datang, mengatakan bahwa Inspektur Jendral akan datang.

Selain dengan konsep pewayang jawa, Nano juga menyelipkan sindiran dan kritikan tentang kondisi Indonesia saat ini dalam pementasan tersebut. “Apa tak ada pemimpin baru? Yang benar-benar tak korupsi?” penggalan lirik lagu yang berjudul Protes Lima Aktivis yang dinyanyikan oleh lima panakawan. Nano berharap penonton dapat mengambil makna yang kaya akan pesan moral dalam pagelaran ini. Teater Koma juga menyelipkan K.P.K (Kalau Penguasa Kacau) sebagai subjudul pementasan.

Pimpinan Produksi Teater Koma, Ratna Riantiarno mengatakan pihaknya berharap pentas kali ini punya kekuatan untuk mengingatkan ketika para pelaku pemerintahan tidak jujur, kita harus melihat lagi, apa sesungguhnya menjadi akar permasalahan.

Apakah yang tidak berjalan itu sistemnya? Atau pelakunya? Tentu saja, agar sebuah sistem bisa berjalan dengan benar, para pelakunya juga harus memiliki moralitas yang benar. “Apakah inspektuir jenderal memang harus datang? Agar smeua sadar dan berusaha berubah? Tapi, di manakah Sang Inspektur Jenderal? Kapankah dia datang?” ungkap Ratna.

Pementasan “Inspektur Jenderal” oleh Teater Koma yang didukung Djarum Apresiasi Budaya ini digelar dari 6 - 15 November 2015 di Gedung Kesenian Jakarta, Pasar Baru. Menampilkan aktor kawakan, seperti Budi Ros, Ratna Riantiarno, Sari Madjid, Dorias Pribadi, Emmanuel Handoyo, Supartono JW, dan Asmin Timbil. Aksi kocak para panakawan wanita, dilakoni oleh Daisy Lantang, Ratna Ully, Angga Yasti, dan Tuti Hartati, dikepalai oleh Rita Matu Mona. Tak ketinggalan sederet pemain lainnya seperti Bayu Darmawan Saleh, Sir Ilham Jambak, Yulius Buyung, Julung Ramdan, Dana Hassan, dan Rangga Riantiarno.

Permainan musik yang menghiasi pagelaran ini dikomposisi dan diaransemen oleh Fero Aldiansyah Stefanus. Serta tata artistik dan cahaya yang memperindah pementasan ala Taufan S. Chn. Para pemain tampil dengan balutan kostum warna-warni rancangan Rima Ananda Omar serta tat arias oleh Sena Sukarya. Sedangkan, keserasian gerak serta tari ditata oleh Ratna Ully.