Naskah: Sahrudi, Foto: Istimewa
Lima puluh delapan tahun sudah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) berdiri. Dengan usia yang sudah cukup matang dan modal kekayaan alam yang berlimpah, seharusnya rakyat Kaltim tidak lagi menghadapi masalah-masalah klasik, seperti keterbatasan infrastruktur, kekurangan listrik, dan lemahnya pelayanan kesehatan serta pendidikan. Hutan belantara yang terkenal sebagai paru-paru dunia, kini tinggal semak belukar dan tak sempat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berarti. Karena itu, tuntutan rakyat agar Kaltim menjadi daerah Otonomi Khusus (Otsus) sebagai jalan untuk menyejahterakan rakyat adalah sesuatu yang final!
Bicara tentang Otsus Kaltim, tentu tak bisa dilepaskan dari figur seorang Awang Faroek Ishak. Ya, Gubernur Kaltim selama dua periode ini sangat memahami betul alasan kenapa rakyatnya menginginkan Otsus. Dalam kesempatan wawancara, Awang Farouk menegaskan bahwa selaku Gubernur Kalimantan Timur, ia menyampaikan rasa hormat dan penghargaan yang tulus kepada seluruh warga masyarakat Kalimantan Timur yang sudah menunjukkan perhatian yang besar kepada perkembangan dan masa depan Provinsi ini. “Rasa hormat dan penghargaan saya ini saya sampaikan karena tuntutan Daerah Otonomi Khusus tersebut diungkapkan bersamaan dengan ungkapan kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ucap Awang.
Ya, bagi Awang, NKRI merupakan hal yang sudah final. Karena itu, tidak boleh sedikit pun ada pikiran soal Otsus di luar kerangka NKRI. “Bagi kita, kemajuan dan kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur, adalah kemajuan dan kesejahteraan Republik Indonesia,” tegasnya.
Desakan perlunya Otsus itu sendiri, diakui Awang tak lepas dari sejumlah persoalan yang terjadi selama ini di Kaltim seperti misalnya pemanfaatan sumberdaya alam yang tak berorientasi pada kesejahteraan rakyat. “Mereka sudah menyaksikan bagaimana hutan belantara Kalimantan Timur yang terkenal sebagai paru-paru dunia, kurang dari 30 tahun telah musnah, tinggal menjadi semak belukar, tanpa sempat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berarti. Hari-hari ini, mereka juga sedang menyaksikan sumber daya alam, berupa minyak dan gas bumi, batu bara dan mineral lainnya, secara masif dieksploitasi dengan meninggalkan sisa-sisa berupa lingkungan yang rusak dan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan,” ucapnya, lirih.
Hal itu bisa membawa Kaltim menjadi daerah yang dihantui oleh bahaya banjir, longsor, kebakaran lahan dan hutan, serta kemiskinan karena masyarakat menerima dampak negatif kerusakan lingkungan. Untuk pemulihannya, tentu memerlukan biaya yang luar biasa besar yang tidak dapat diperoleh apabila Kalimantan Timur tidak diberi kewenangan yang lebih besar dalam mengatur dan mengelola serta mendapatkan manfaat yang lebih besar lagi dari kegiatan eksploitasi sumber daya alam.
“Hal inilah yang saya fahami sebagai latar belakang pemikiran masyarakat Kalimantan Timur menuntut status Daerah Otonomi Khusus, yakni adanya permasalahan besar yang berpotensi menggerogoti kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur yang kualitasnya dan ruang lingkupnya makin membesar pada masa mendatang apabila tidak dilakukan upaya-upaya penanggulangan secara ekstra,” Awang mengingatkan.
Karena itu, Awang tak membantah jika substansi tuntutan masyarakat Kalimantan Timur tersebut merupakan hal yang wajar. Bahkan, lanjutnya, itu merupakan hak masyarakat Kalimantan Timur untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan semakin membaik dari waktu ke waktu.
Memang, tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang wajar. Bahkan, bukan merupakan sesuatu yang terlarang atau melanggar konstitusi kita. Tengok saja Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Di situ, jelas sekali termaktub bahwa UUD 1945 memberikan ruang kepada daerah untuk memperoleh kekhususan tertentu, terkait dengan kewenangannya.
“Karena itu, saya meminta kepada segenap pakar, baik yang berada di perguruan tinggi, maupun yang berada di berbagai lapisan masyarakat, untuk menyumbangkan pemikiran sehingga tersusun satu naskah akademik yang memadai untuk melengkapi usul perubahan status daerah menjadi Daerah Otonomi Khusus yang akan disampaikan secara resmi kepada Pemerintah Pusat,” ia menegaskan.
Lima puluh delapan tahun sudah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) berdiri. Dengan usia yang sudah cukup matang dan modal kekayaan alam yang berlimpah, seharusnya rakyat Kaltim tidak lagi menghadapi masalah-masalah klasik, seperti keterbatasan infrastruktur, kekurangan listrik, dan lemahnya pelayanan kesehatan serta pendidikan. Hutan belantara yang terkenal sebagai paru-paru dunia, kini tinggal semak belukar dan tak sempat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berarti. Karena itu, tuntutan rakyat agar Kaltim menjadi daerah Otonomi Khusus (Otsus) sebagai jalan untuk menyejahterakan rakyat adalah sesuatu yang final!
Bicara tentang Otsus Kaltim, tentu tak bisa dilepaskan dari figur seorang Awang Faroek Ishak. Ya, Gubernur Kaltim selama dua periode ini sangat memahami betul alasan kenapa rakyatnya menginginkan Otsus. Dalam kesempatan wawancara, Awang Farouk menegaskan bahwa selaku Gubernur Kalimantan Timur, ia menyampaikan rasa hormat dan penghargaan yang tulus kepada seluruh warga masyarakat Kalimantan Timur yang sudah menunjukkan perhatian yang besar kepada perkembangan dan masa depan Provinsi ini. “Rasa hormat dan penghargaan saya ini saya sampaikan karena tuntutan Daerah Otonomi Khusus tersebut diungkapkan bersamaan dengan ungkapan kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ucap Awang.
Ya, bagi Awang, NKRI merupakan hal yang sudah final. Karena itu, tidak boleh sedikit pun ada pikiran soal Otsus di luar kerangka NKRI. “Bagi kita, kemajuan dan kesejahteraan Provinsi Kalimantan Timur, adalah kemajuan dan kesejahteraan Republik Indonesia,” tegasnya.
Desakan perlunya Otsus itu sendiri, diakui Awang tak lepas dari sejumlah persoalan yang terjadi selama ini di Kaltim seperti misalnya pemanfaatan sumberdaya alam yang tak berorientasi pada kesejahteraan rakyat. “Mereka sudah menyaksikan bagaimana hutan belantara Kalimantan Timur yang terkenal sebagai paru-paru dunia, kurang dari 30 tahun telah musnah, tinggal menjadi semak belukar, tanpa sempat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berarti. Hari-hari ini, mereka juga sedang menyaksikan sumber daya alam, berupa minyak dan gas bumi, batu bara dan mineral lainnya, secara masif dieksploitasi dengan meninggalkan sisa-sisa berupa lingkungan yang rusak dan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan,” ucapnya, lirih.
Hal itu bisa membawa Kaltim menjadi daerah yang dihantui oleh bahaya banjir, longsor, kebakaran lahan dan hutan, serta kemiskinan karena masyarakat menerima dampak negatif kerusakan lingkungan. Untuk pemulihannya, tentu memerlukan biaya yang luar biasa besar yang tidak dapat diperoleh apabila Kalimantan Timur tidak diberi kewenangan yang lebih besar dalam mengatur dan mengelola serta mendapatkan manfaat yang lebih besar lagi dari kegiatan eksploitasi sumber daya alam.
“Hal inilah yang saya fahami sebagai latar belakang pemikiran masyarakat Kalimantan Timur menuntut status Daerah Otonomi Khusus, yakni adanya permasalahan besar yang berpotensi menggerogoti kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur yang kualitasnya dan ruang lingkupnya makin membesar pada masa mendatang apabila tidak dilakukan upaya-upaya penanggulangan secara ekstra,” Awang mengingatkan.
Karena itu, Awang tak membantah jika substansi tuntutan masyarakat Kalimantan Timur tersebut merupakan hal yang wajar. Bahkan, lanjutnya, itu merupakan hak masyarakat Kalimantan Timur untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan semakin membaik dari waktu ke waktu.
Memang, tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang wajar. Bahkan, bukan merupakan sesuatu yang terlarang atau melanggar konstitusi kita. Tengok saja Pasal 18A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Di situ, jelas sekali termaktub bahwa UUD 1945 memberikan ruang kepada daerah untuk memperoleh kekhususan tertentu, terkait dengan kewenangannya.
“Karena itu, saya meminta kepada segenap pakar, baik yang berada di perguruan tinggi, maupun yang berada di berbagai lapisan masyarakat, untuk menyumbangkan pemikiran sehingga tersusun satu naskah akademik yang memadai untuk melengkapi usul perubahan status daerah menjadi Daerah Otonomi Khusus yang akan disampaikan secara resmi kepada Pemerintah Pusat,” ia menegaskan.