Mengulas Ulos di Sumatera Loom

Oleh: Giatri (Editor) - 08 July 2014
Naskah : Gia

Selain menjadi identitas dan seni berbusana, ulos memiliki makna spiritual. Dalam tradisi leluhur masyarakat Batak, pemberian ulos dimaknai sebagai simbol doa dan restu (pasu-pasu). Ada tiga fase pemberian ulos bagi orang Batak, yaitu lahir, menikah, dan meninggal. Saat itulah, ulos tak hanya lembar tenun, tapi bermakna batin sebagai jembatan penaut kasih sayang.

Itulah alasan yang mendasari Torang Sitorus begitu mencintai ulos. Pria yang akrab disapa Torang ini juga mengoleksi salah satu wastra Nusantara tersebut. Tak hanya itu, Torang seringkali meminjamkan koleksi kesayangannya itu ke berbagai pameran atau museum, salah satunya Museum Tekstil Jakarta.

Ketertarikan Torang akan ulos juga tak lepas dari pengaruh keluarga yang sangat memegang erat tradisi Batak. Ayahnya adalah seorang pejabat kabupaten, sedangkan ibunya sangat aktif di organisasi. Setiap melakukan kunjungan ke suatu desa, ibunya selalu membawa pulang ulos sebagai oleh-oleh, lalu selalu menyimpannya dengan baik di dalam lemari khusus.

Ibunya sering memperlihatkan dan memberitahukan keistimewaan masing-masing ulos kepada Torang, yang tanpa disadari telah menimbulkan ketertarikan dan minat terhadap tenun khas Batak ini. “Baru kemudian sejak SMA saya juga ikut mengumpulkan kain ulos dan belajar ulos,” ujar pria ramah tersebut. 

Hingga saat ini, jumlah koleksi ulos milik Torang, termasuk yang dikumpulkan ibunya, sudah mendekati 1.000 helai. Torang mengatakan, bagi masyarakat Batak, ulos adalah harta yang berharga yang patut dijaga sebaik mungkin. Bahkan, warisan ulos pantang dijual sembarangan karena ulos diyakini memiliki jiwa tondi/Iman yang kuat (pengharapan) yang dapat memengaruhi si pemilik ulos.

Oleh karena itu, lanjutnya, masyarakat Batak, terutama generasi tua, menyimpan warisan ulosnya dengan hati-hati dan jarang dikeluarkan. Bahkan, terkadang si penyimpan warisan ulos cenderung enggan menunjukkan ulos tersebut kepada orang lain. “Tak sembarang orang boleh menyentuh warisan ulos leluhur tersebut sekalipun anak sendiri,” tandas pria yang membidani museum kain tradisional bernama Sumatera Loom Gallery di Medan itu.

Lantaran demikian, koleksi ulos keluarga Torang yang dipamerkan di Museum Tekstil Jakarta pun ditempatkan di dalam lemari-lemari kaca. Secara subtil, banyak dari koleksi ulos yang dipamerkan tersebut memancarkan aura magis yang memikat. Beragam motif dan warna-warna yang berpadu indah dari ulos-ulos itu membiaskan pesona yang dalam dan khidmat.

Sembari mengitari area museum, Torang menceritakan, dari beragam jenis ulos yang ada, setidaknya ada 10 ulos yang kerap digunakan masyarakat. Di antaranya ulos ragi hotang, dihiasi menggunakan teknik ikat lungsi, banyak dikerjakan oleh penenun di daerah Meat, melambangkan orang yang memiliki tubuh yang kuat (pekerja keras), jiwa yang kuat (tahan uji) dan tondi. Jenis ulos ini, diberikan mertua kepada menantu laki-laki dengan maksud agar ikatan batin kedua pengantin teguh seperti rotan (hotang). 

Ulos sadum tarutung diberikan kepada anak kesayangan yang membawa kegembiraan kepada keluarga. Harapannya sang anak membawa kebaikan dan mampu mencapai cita-citanya. Di daerah Tapanuli Selatan, sadum sering disebut dengan istilah Abit godang yang memiliki fungsi sebagai gendongan bagi keturunan orang berkuasa, bisa juga dijadikan alas tempat sirih di atas pinggan besar, dan sebagai pemberikan kepada anak kesayangan yang membawa suka cita dalam keluarga dengan harapan kelak anak tersebut akan membawa kebaikan yang godang (banyak). 

Ulos tumtuman, yang ditenun dengan teknik pakan tambahan atau songket, digunakan sebagai tali-tali (ikat kepala) raja atau tetua Batak. Tali-tali yang bermotif dikenakan anak sulung dari tuan rumah yang sedang menyelenggarakan acara adat. Jenis ulos ini dihiasi dengan ragam rias berwarna-warni, hasil teknik tenun pakan tambahan dan tenun tapestri. Banyak diproduksi di Tarutung, Tapanuli Utara, yang sebelumnya ditenun di Angkola (Tapanuli Selatan) sebagai tradisi setempat.

Harungguan berarti marunggu (berkumpul), karena semua motif ada atau terkumpul di dalam Ulos ini.Ulos harungguan biasanya digunakan pada acara yang bersifat suka cita, seperti meminta doa restu keberhasilan. 

Ragi sibolang memiliki tiga ragi khusus dan warnanya terdiri dari warna hitam (biru tua), dan putih (biru muda), digunakan pada upacara adat baik suka cita maupun duka cita. Ulos yang didominasi warna hitam ini, biasanya diberikan oleh paman kepada keponakan yang meninggal dunia pada usia muda serta sebagai tanda duka cita kepada seseorang yang ditinggal mati pasangannya sebelum memperoleh cucu dari semua anaknya.

Ulos bintang maratur, motifnya menyerupai gugusan bintang yang anggun dan teratur, menggambarkan orang yang patuh dan rukun dalam ikatan kekeluargaan yang sangat kuat. Fungsi lain dari ulos ini, diantaranya sebagai ulos edang-edang (dikenakan untuk menghadiri undangan) oleh seseorang dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi.

Sementara ulos ragi idup, yang khusus untuk laki-laki, dapat dikenakan pada upacara dukacita dan sukacita. Ulos ini juga dapat diberikan kepada seseorang yang tengah berulang tahun, baru memangku jabatan tertentu, dan naik pangkat. Membuat ulos ragi idup merupakan pekerjaan yang sangat sulit, karena motif yang diterapkan menggunakan beberapa teknik hias.

Rupa motifnya seolah bernyawa dan hidup. Itu sebabnya dinamakan ragi idup (aragi = hidup). Banyak orang beranggapan Ulos inilah yang paling tinggi derajatnya dalam adat Batak, akan tetapi menurut sejarah dan ditinjau dari pemakainya Ulos ini berada setingkat dibawah Ulos Ragi Jugia.

Torang berharap, setiap anak muda di berbagai daerah mau terjun menggeluti kain tradisional khas daerahnya masing-masing. Lalu membangun bisnis dari kekayaan tradisinya agar kelestariannya terjaga. 

Torang pun sudah mengimplementasikan hal tersebut dalam hidupnya, sejak lima tahun terakhir, ia tak sekadar mengoleksi ulos, tetapi juga merajut bisnis yang mengusung kain ulos. Di bawah label Sumatra Loom, Torang menggagas konsep pengembangan ulos untuk berbagai produk kerajinan dan mode, seperti tas, taplak meja, dan dompet. Sejauh ini banyak dari produk yang digarapnya dipasarkan di Bali.

Saat ini, Torang bekerja sama sekaligus membina 50 partonun (penenun) ulos di Tarutung. Menariknya, di tiap helai ulos terdapat nama sang penenunnya. Torang pun tidak sembarangan memanfaatkan kain ulos untuk dijadikan produk mode dan kerajinan. Ia masih menjaga jenis ulos yang digunakan untuk keperluan sakral tidak dimodifikasi menjadi turunan produk lainnya, selain untuk sarung dan selendang. “Dengan begitu, ulos sebagai salah satu peninggalan budaya Batak yang berharga dapat terus hidup,” pungkasnya.