Lola Amaria: Idealisme di Jalur Indie

Oleh: Andi Nursaiful (Administrator) - 13 March 2014
Naskah: Andi Nursaiful, Foto: Dok. MO

Tak ada yang terlalu istimewa saat kali pertama kutemui kau di siang pengap itu. Sosokmu seperti pesohor kebanyakan. Terlahir dengan sedikit bakat, dimanjakan fasilitas, ditopang kesempatan dan paras rupawan, maka jadilah kau bintang.


Tapi, tatkala kuselami lebih dalam sorot mata besar nan indah itu. Kala kutelisik lebih jauh makna yang meluncur dari bibir tebal nan melarutkan itu. Aku tersadar, tak hanya berhadapan dengan seorang Lola Amaria. Yang kuhadapi adalah sepenggal perjuangan hidup, selaksa semangat, sebuah energi! Maka kuajak kau menulis ulang skenario hidupmu.


Scene 1: Dark in the Past, Diary to Cry on
Suram. Benarkah hanya kata itu yang mampu mewakili masa lalumu? “Ya, memang nggak ada indah-indahnya. Buat aku, 80 persen bisa dibilang suram!” Tapi bukankah kau terlahir dari sebuah keluarga mapan? Katamu, krisis moneter telah memporakporandakan ekonomi keluarga ketika usiamu masih 11 tahun.

Maka jadilah kau anak titip pada seorang tante di Bekasi atas pilihanmu sendiri. Menjalani hidup tanpa warna-warni masa remaja. Menyusur ritme hari dengan sekolah, tidur siang, belajar, lalu terlelap untuk hari besok yang sama, disiplin dan irama hidup yang sama.

Aah, bisa kulihat masa remajamu memang telah hilang, La! Lantaran itukah kau lantas tumbuh jadi gadis pendiam, yang terkesan aneh dan kuper di lingkunganmu? Karena itukah kau hanya bersahabat dengan diary dan menuliskan cerpen-cerpen hidupmu sendiri?  “Memang benar aku kurang perhatian dan kasih sayang. Selama waktu itu, temanku cuma buku diary. Aku ngadu sama dia, segala macam ada di situ. Kalau aku baca sekarang, suka merasa aneh, nggak nyangka kok dulu bisa nulis begitu ya? Beda sekali sama kehidupan dan sikap-sikapku sekarang,” kenangmu.

Tapi kesulitan hidup justru menempamu menjadi seorang gadis tangguh. Kau coba berdamai dengan kegagalan, berteman dengan tantangan, lalu belajar dan berjuang keras untuk bangkit melepaskan diri. “Aku mikir, enak banget kalau bisa cari duit sendiri. Aku mulai ikut ajang pemilihan wajah remaja. Nggak nyangka jadi juara satu Pemilihan Model Remaja Majalah Anita di tahun 1994. Dari situ  aku dapat uang dari pemotretan kalender sepulang sekolah. Wah seneng sekali!” Ya, aku tahu telah kau temukan duniamu. Sebuah dunia kebebasan berekspresi. Melakukan apa yang kau suka.

Selepas SMA, kau kembali bimbang. Mengejar cita-cita jadi diplomat atau menikmati dunia di balik lensa? UMPTN kau ikuti hanya untuk menemui kegagalan. “Aku memutuskan, udahlah, aku mau enjoy life, dari pada kuliah di tempat mahal, aku ambil sekolah PR. Tapi ternyata hanya buang waktu aja. Aku sempat kerja sebagai marketing di salah satu perusahaan di bawah Humpuss, tapi tiga bulan resign. Aku nggak enjoy, ketemu orang-orang itu juga. Nggak sebanding dengan energi yang aku keluarkan.”

Ajang pemilihan Wajah Femina di tahun 1997 pun kau coba. Sekali lagi sebuah surprise. Wajah dan kulit Melayu-mu yang eksotis, mengantarmu jadi salah satu pemenang. “Persepsi aku pun berubah, bahwa seorang model tak harus tinggi, langsing, berkulit putih. Cantik tak cuma itu, karena cantik itu inner, tak identik dengan fisik. Aku jadi pede, oh muka Melayu ada nilai jualnya juga toh?”

Setuju La, teramat setuju! Memang rupa dan kulit itu yang memaksa dunia model dan iklan melirikmu. Memang mata dan bibir itu yang mengantarmu ke gerbang video klip dan sinetron. Tapi, di mataku, keistimewaanmu bukan itu. Bagiku, semangat dan energi hidupmu untuk mencari pengakuan diri, untuk lepas dari ketidakberdayaan sosial dan ekonomi, adalah kecantikan tak terjelaskan.

“Hmm, mungkin benar. Waktu misah sama keluarga memang jadi momen paling penting hidupku. Kalau waktu itu akau tidak mengikuti kata hati, mungkin aku masih ada di pesantren, tidak di sini sekarang!”

Scene 2: Born to Learn, Living Uniquely
“Hidup adalah belajar dan berjuang. Aku tidak tahu akan ketemu siapa nanti, akan jadi apa, hidup seperti apa kelak. Aku hanya berpikir apa yang terbaik yang bisa aku kerjakan hari ini. Aku biarkan semua berjalan alami. Aku belajar sesuatu hari ini, besok belajar yang lain lagi.” katamu lagi.

Hmm, sedatar itukah hidup bagimu? Tidakkah terpikir untuk mewarnai hidupmu dengan sesuatu yang lebih memanjakan ketimbang belajar dan hanya belajar? “Lho, justru di situlah hidup menjadi asyik. Aku sudah mengalami banyak hal. Pernah miskin, pernah punya uang banyak, pernah dimusuhin orang, hari ini punya banyak temen, pernah bersedih, pernah senang. Seimbang seperti alam ini. Itu asyik kan?” Bagimu, tekanan dan tempaan hidup itu indah. Sebab ketertekanan mamaksamu mencari jalan keluar, membuatmu lebih dewasa, memompa energimu melakukan sesuatu yang lebih baik dari hari kemarin.

Jenuh dengan akting, kau belajar memproduksi film independen dengan dana sangat terbatas. Maka lahirlah Beth dan Novel Tanpa Huruf R. Lalu kau masuk lebih jauh lagi, menyutradarai film pertamamu, Betina, yang hampir rampung setelah tertunda setahun. “Ibarat gelas, aku baru mengisi air setengahnya. Belum apa-apa. Aku akan bahagia kalau orang menghargai karyaku, kalau bisa berupa film atau buku yang akan dikenang kalau aku mati!”

Aah, Lola, tak perlu menunggu jasadmu menyatu dengan tanah pekuburan! Saat ini pun aku sudah mengagumimu. Dan aku yakin, semua orang menghargai eksistensi dan karyamu yang berani melawan arus kemapanan. Terlepas mereka mengakui atau tidak.

Kini pun aku mahfum kenapa kau mengidolakan orang-orang unik dan kontroversial yang baru dihargai setelah kematiannya. Orang-orang aneh dengan spirit bebas seperti Bob Marley, Van Gogh, Mozart, Nitsche, Sigmund Freud, Einstein hingga Hitler. Bagimu, semua orang bisa kaya dan berkuasa, tapi belum tentu punya nilai yang akan dikenang sepanjang masa. “Justru orang-orang seperti itu yang inspired aku. Mereka miskin, punya banyak kekurangan, idiot, nggak menikah, atau dianggap gila sama lingkungannya. Tapi kenapa bisa jadi legend? Berarti kan pilihan dewa!”

Scene 3: Real Love, Free Sex and Underwear
Aku pun jadi mengerti kenapa kau lebih menikmati Sting dan Sade yang unik, Enya yang magis, atau U2 yang populis. Seperti juga seleramu akan film-film non-Hollywood yang lahir bukan dari kecanggihan teknologi dan limpahan dana, tapi dari tangan berdedikasi dan semangat ketertekanan seperti trilogi cinta Red, White, dan Blue garapan Krzysztof Kieslowski itu. “Aku juga suka Bernado Bertolucci. Laki-laki, tapi filmnya sangat perempuan. Atau Zhang Yimau yang kental budaya orientalnya. Atau ide –ide luar biasa dari Jang Campion dan Steven Sauderbergh. Kalau film, aku lebih suka yang ide dan maknanya mahal, tapi secara teknis sangat murah.”

Melihat sosokmu yang mungil dan lemah itu, lantas dari mana datangnya energi luar biasa itu, La? Kalau sekadar jogging, treadmill, atau ke gym, tentulah tak cukup. “Aku juga belajar yoga dan meditasi lewat DVD dan buku. Aku belajar mengelola emosi, karena terkadang temperamental,” akumu.

“My body is my fashion,” katamu sejurus kemudian. Tapi yang kutahu, kau lebih nyaman dengan T-Shirt dan jeans dalam keseharianmu, atau kebaya dan aksesoris etnik untuk yang sedikit resmi. “Ya, aku memang punya banyak koleksi kebaya unik, juga sarung-sarung etnik. Biasanya aku beli bahan, bukan pakaian jadi di butik. Aku nggak mau diperbudak mode. Aku lebih senang pake baju sepuluh 10 ribu perak tapi nyaman memakainya.”

Nyaman, katamu? Mungkin karena itu pula kau begitu memperhatikan kenyamanan dari 40-an koleksi pakaian dalammu yang dominan hitam putih dan berbahan mahal itu?  “Untuk urusan yang satu itu aku ekstra hati-hati. Karena dalam mencerminkan luar. Nyaman di dalam kan luarnya juga nyaman!”

Ya, aku paham, La! Kecuali bahwa kau mengaku tak suka parfum. “Karena parfum hanya untuk orang yang tidak pede, ha ha ha!”  Boleh jadi memang kau tak butuh wewangian. Sebab hari-hari senggangmu memang lebih banyak kau habiskan dengan nonton DVD sambil menganalisa di rumah, ketimbang dugem atau hang out seperti pesohor kebanyakan. Kau menikmati merawat sayur mayur dan tanaman obat di halaman rumahmu sambil bercengkerama dengan anjing-anjingmu. Atau mempraktikkan resep-resep masakan dari saluran TV. Pun kau tak butuh parfum saat menghabiskan liburan panjang di gunung atau pantai.

Lantas kenapa kau bilang cinta adalah energi bagimu? “Seseorang yang punya cinta akan lebih bergairah bekerja. Karena ada yang disayang, ada yang menyayangi” kilahmu. Hmm kau benar, La! Kau juga benar saat mengatakan cinta tulus tak boleh ada alasannya. “Jadi kalau aku suka sama kamu karena kamu kaya atau ganteng, berarti ada alasan dong. Saya cinta justru karena tidak ada alasan. Chemistry aja! Aku bisa merasakan kapan chemistry itu hadir.”

Berarti kau pun mampu membedakan kapan laki-laki mendekatimu hanya karena melihatmu seksi secara fisik atau secara isi kan? “Eh, tapi aku nggak merasa seksi lho! Buat aku, seksi itu sehat, smart, dan punya sikap. Kalaupun aku merasa seksi, itu saat aku tengah bergairah bekerja. Saat adrenalinku terpicu di lokasi syuting atau saat berada dalam tekanan. Aku merasa sangat seksi kalau begitu!” Entahlah, La! Yang jelas, mata, bibir dan kulit eksotis itulah salah satu letak seks appeal-mu!

Kini mari lepaskan hurif “i” dari kata “seksi”. Ayo bicara seks! Aku yakin kau tak menabukan anugerah keindahan itu. Benar kan, La? “Iya, buat aku, sex bukan sesuatu yang tabu. Bahkan sex before married tak harus diperdebatkan, sejauh itu come from the heart, tak ada keterpaksaan, dan masing-masing tahu resiko dan akibatnya. Love dan sex tak terpisahkan. Itu karunia lagi, itu indah, ha ha ha! “

Hmm, maka ungkapkan padaku pada lelaki seperti apa kan kau senyawakan cintamu, kan kau lahirkan anak-anakmu? Masihkah dengan kriteria fisik seperti remaja kebanyakan? “Ya dulu memang seperti itu. Tapi sejak usia 23 udah berubah. Aku lebih melihat isi. Biar fisiknya kacau, kalau isinya oke, aku sih ngeliatnya oke aja. Terutama matanya. Kalau aku memandang seseorang itu sampai berinar-binar karena apa yang diomongin, berarti dia tuh seksi banget.”

Scene 4: Single Dream, Simple Obsession
Andai sukses itu ada ujungnya, di manakah ujung suksesmu, La?  “Mati!” jawabmu mantap. Ya, sukses bagimu, adalah saat namamu dikenang setelah kematian menjemput. Katamu, melakukan banyak hal toh ujung-ujungnya mati juga. “Filosofi dari kuburan itu kan, kita menggali, terus mencari esensi hidup, ketika kita sudah dapat, kita masuk dan selesai. Kita berarti atau tidak, dilihat dari apakah orang mengenang atau melupakan kita?”

Maaf, La, rasanya aku sulit memahami itu. Yang kutahu, sampai kapanpun kau tetap ingin menghasilkan film-film independen, ingin punya kamera dan alat editing yang lengkap, plus ruang presentase untuk memutar filmmu tanpa harus mengemis di studio 21. Juga tetap punya ide-ide gila yang masih dalam koridor kejujuran dan tidak melenceng dari logika. “Ya, aku memang nggak peduli filmku ditonton hanya satu dua orang, yang penting aku senang. Intinya, aku nggak pengen mapan. Sebab kemapanan akan membuat aku malas ngapa-ngapain lagi, justru membuatku tersiksa! Aku terbiasa hidup dengan tantangan dan tekanan!” Katamu pula, kelak kau memilih menghabiskan masa tua di kaki pegunungan dan menghabiskan hari dengan bercocok tanam.

Sore masih menyisakan pengap. Namun aku masih bersemangat menulis ulang tapak-tapak perjalanan hidupmu. Setidaknya sampai hari ini. Sebab, bagimu, hidup cukuplah untuk hari ini. Esok, kau terbangun untuk menjalani hidup sehari lagi. Hingga suatu masa ajal menjemput. Mati, dan berarti. Seperti kata Chairil Anwar: Sekali berarti, sudah itu mati…

Lolagrafi
Nama Lengkap
Lola Amaria  Lahir Jakarta, 30 Juli 1977, anak ketiga dari sembilan bersaudara pasangan Amarullah-Romlah (Jawa-Sunda)  Tinggi/Berat 163/46 Pendidikan Formal Program D-1 Public Relation dari Lembaga Pendidikan Interstudi, Jakarta  Non-Formal Sekolah Kepribadian John Robert Powers  Pekerjaan/Profesi Model iklan, pemain film, produser dan sutradara film independen Prestasi Juara 1 Wajah Remaja Majalah Anita 1994, Pemenang Kategori Busana Nasional ajang Pemilihan Wajah Femina 1997, nominasi aktris terbaik FSI 1998 dalam telesinema Penari Peran dalam Sinetron/Telesinema  Penari, Arjuna Mencari Cinta, Sebening Hati Wanita, Tali Kasih, Merah Hitam Cinta Peran dalam Film Layar Lebar Tabir, Dokuritsu, Beth, Cau Bau Kan, Novel Tanpa Huruf R  Film yang Pernah Diproduksi  Beth, Novel Tanpa Huruf  R  Aktivitas saat ini Menyutradarai film Betina Tokoh yang Dikagumi Nabi Muhammad SAW, Sartre, Nitsche Pemain Film Favorit Marlon Brando, Jack Nicholson, Kate Winslet, Annete Bening, Julianne Boore, Isabelle Andjani, Monica Belucci, Gong Li, Maggie Cheung, Joan Chen  Makanan Favorit Masakan sendiri dan masakan pacar


Artikel ini dimuat pada majalah Men's Obsession edisi Juni 2005

Update

Lajang satu ini adalah segelintir dari pegiat seni peran dan film yang tetap bersikukuh dengan idealismenya. Tatkala rekan sejawat terbuai dengan materi dan popularitas dengan mengorbankan mutu dan kualitas, Lola Amaria, aktris sekaligus sutradara dan produser film, bergeming dengan film-film indie berkualitas meski tak menjanjikan keuntungan besar.
   
Berawal dari menjuarai lomba model Wajah Femina 1997, Lola memasuki ranah hiburan Tanah Air dengan membintangi iklan. Dalam waktu singkat ia karier dan popularitasnya menanjak dengan bermain sinetron dan film layar lebar.

Setelah sekian lama memerankan film-film berkualitas, Lola pindah ke balik kamera sebangai sutradara dan produser. Gadis berdarah Palembang-Sunda ini memulai dengan memproduseri film Novel Tanpa Huruf R (2004) yang sekaligus dibintanginya, lalu menyutradarai film Betina,  yang berhasil meraih penghargaan Netpac Award dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2006.

Betina juga menjadi salah satu film produksi Indonesia yang akan ditayangkan di luar Indonesia, yaitu di Festival Film Internasional Singapura Ke-20. Awal 2007, Lola berangkat ke Taiwan untuk menyelesaikan syuting film produksi negeri tersebut, Detour to Paradise. Dalam film garapan sutradara Lee Ti-Tsai alias Andy Lee itu, Lola menjadi bintang utama dan berperan sebagai tenaga kerja wanita dengan profesi pembantu rumah tangga (PRT).

Setelah sekian lama absen, pada 2010 Lola kembali menyutradarai film Minggu Pagi di Victoria Park (2010), Sanubari Jakarta (2012), dan Kisah 3 Titik (2013).