Koleksi Tosan Aji Ryaas Rasyid

Oleh: Andi Nursaiful (Administrator) - 18 October 2013
Naskah: Gyatri Fachbrilliant    Foto: Sutanto

Mantan Menpan dan Anggota Wantim presiden, Ryaas Rasyid, sejak lama mengoleksi ratusan jenis keris dan tosan aji asal Jawa berusia ratusan tahun. Banyak cerita mistis dan kisah menarik yang dialaminya bersama benda-benda pusaka kuno koleksinya itu.

Menurutnya, keris Jawa kuno dibuat dengan sungguh-sungguh oleh seorang Mpu. Memerlukan ritual khusus dan proses yang panjang.

"Oleh karenanya meskipun saya bukan orang Jawa, saya merasa terpanggil untuk menyerap berbagai budaya Jawa yang terkandung di dalam benda yang telah ditetapkan UNESCO sebagai salah satu situs warisan dunia tersebut dan hal itu saya buktikan dengan memeliharanya,” tandas Ryaas.

Ryaas, mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), dan Anggota Dewan Pertimbangan (Wantim) Presiden di Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi, sudah sejak lama memahami seluk beluk senjata khas Jawa, sekalipun ia adalah putra Sulawesi Selatan. Tak hanya  memahami, Ryaas juga mengoleksi ratusan jenis keris dan jenis tosan aji lainnya seperti tombak dan lainnya yang berusia puluhan bahkan ratusan tahun.

Keris yang bersemayam di kediamannya yang asri di bilangan Jalan Margasatwa, Jakarta Selatan, sudah menyentuh angka ratusan, dan dari koleksi miliknya pulalah ia mengalami banyak kisah menarik. Cikal bakal ketertarikannya terhadap benda tajam tersebut adalah saat berkerja di Jakarta sebagai asisten dosen di Institut Ilmu Pemerintahan pada 1978. 

“Ada salah satu dosen ahli sejarah yang memberikan perhatian khusus kepada benda-benda pusaka, salah satunya adalah keris-keris Jawa yang bernama Sumarsahid Moertono. Di setiap kami bertemu, ia sering bercerita mengenai keunikan keris. Namun tatkala itu, yang saya tahu hanyalah badik,” ujar Ryaas.

Suatu waktu tahun 1981, Sumarsahid menyambangi kediaman Ryaas dan menyerahkan sepucuk keris kepada pria kelahiran Gowa, 17 Desember 1949 itu. “Ini cocok buat kamu karena kamu masih muda, itu yang beliau katakan ke saya,” kenang Ryaas.

Namun keris pemberian tersebut hanya teronggok begitu saja di rumah Ryaas, bahkan saat ia menempuh pendidikan di Universitas Hawaii, Amerika Serikat, pada 1985, sepucuk benda tajam tersebut pun tidak dibawanya. ”1994, saya kembali setelah dapat gelar doktor jadi hampir 10 tahun saya tinggal keris itu,” aku Ryaas.

Sepulangnya ke Tanah Air, ia bertemu salah seorang Dekan Fisipol UGM, “Ia bilang ke saya karena saya tinggal di Jawa, ya harus mengerti budaya Jawa, bahkan ia merujukkan bukunya Sumarsahid berjudul ...