Bissu yang Kian Tergerus Zaman
Naskah: Andi Nursaiful/berbagai sumber Foto: Istimewa
Tertatih-tatih bertahan dalam arus modernisasi, Bissu semakin tergerus zaman, terpinggirkan, dan nyaris ditelan waktu. Padahal, dari kacamata kekayaan khazanah budaya Nusantara, manusia-manusia ‘setengah dewa’ dari Tanah Bugis, ini, seharusnya tetap eksis. Selingan kali ini mengajak Anda menjelajahi dunia Bissu, yang dipercaya sebagai satu-satunya gender ke-5 di bumi manusia.
Jika dunia hanya mengenal dua gender (laki-laki dan perempuan), maka di Tanah Bugis, Sulawesi Selatan, sekelompok masyarakat membagi lima gender dalam komunitas mereka. Selain pria (oroane) dan wanita (makkunrai), ada calabai (pria yang berperilaku seperti wanita), ada calalai (wanita yang berperilaku layaknya pria), dan ada pula Bissu.
Meskipun secara anatomi biologis mereka bisa wanita atau pria, namun Bissu bukanlah pria, bukan juga wanita. Mereka bukan pria manis, dan bukan pula wanita macho. Mereka dianggap mewakili semuanya, atau sebaliknya, berada ‘di luar batasan gender.’
Sharyn Graham, seorang peneliti dari University of
Western Australia di Perth, Australia, yang menerbitkan penelitian ilmiah mengenai kaum Bissu, menjelaskan, mereka tidak dapat dianggap sebagai banci atau waria. Mereka tidak memakai pakaian dari golongan gender apapun, melainkan setelan tertentu dan tersendiri untuk golongan mereka. Mereka juga menguasai bahasa khusus, yaitu bahasa Torilangi (bahasa orang langit) yang bagi sebagian kalangan dianggap bahasa dewata. Sharyn Graham pula yang mempopulerkan Bissu sebagai gender ke-5.
Kaum Bissu, yang dalam bahasa Bugis diartikan “bersih,” memiliki derajat yang lebih tinggi dalam struktur sosiokultural masyarakat. Mereka memiliki peran ritual, menjadi jembatan komunikasi dan perantaran manusia dengan dewa, hingga berlaku sebagai penyembuh segala penyakit dan bala.
Singkatnya, mereka dipandang sebagai orang suci, pendeta, dukun, orang sakti, bahkan manusia setengah dewa yang tak mempan oleh senjata tajam dan mampu mendatangkan panen berlimpah. Itu semua bisa terjadi lantaran Bissu dipercaya telah melepaskan kodrat dan hasrat biologis mereka. Dengan melepas kodrat dan hasrat biologis, hubungan mereka dengan dewa tidak akan terputus.
Bissu hidup dalam kepercayaan tradisional komunitas kecil di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Dewasa ini, hanya tersisa sedikit Bissu. Itupun dianggap tak lagi sehebat para Bissu sebelumnya. Pada Juni 2011, Bissu Puang Matoa Saidi, salah seorang dari sedikit golongan Bissu Bugis yang tersisa juga sudah meninggal.
Padahal, Puang Matoa Saidi yang bertindak sebagai pemimpin Bissu, juga dikenal sebagai satu-satunya penghafal naskah sastra Bugis, Sureq La Galigo, naskah sastra terpanjang di dunia, melebihi kisah Mahabrata dan Ramayana.
Dalam manuskrip kuno yang mencapai 9.000 halaman folio itu, banyak menceritakan tentang kehadiran Bissu sebagai penyempurna peran dari dewa yang diturunkan dari langit (Dunia Atas) untuk memerintah di Bumi (Dunia Tengah), dan kawin dengan dewa yang dimunculkan dari lautan (Dunia Bawah). Diceritakan juga peran Bissu yang melengkapi kisah Tomanurung (manusia pertama di Bumi versi orang Bugis) dan generasi-generasi berikutnya.
Masih dalam manuskrip sastra kuno itu, dikisahkan bahwa Bissu pertama yang ada di bumi bernama Lae-lae, yang diturunkan bersama Tomanurung. Dari sini sebagian ahli sejarah meyakini tradisi Bissu berawal dari daerah Luwu, lalu menyebar ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Mereka menyingkir dan bersembunyi di daerah Segeri ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan memburu mereka untuk dibasmi.
Tertatih-tatih bertahan dalam arus modernisasi, Bissu semakin tergerus zaman, terpinggirkan, dan nyaris ditelan waktu. Padahal, dari kacamata kekayaan khazanah budaya Nusantara, manusia-manusia ‘setengah dewa’ dari Tanah Bugis, ini, seharusnya tetap eksis. Selingan kali ini mengajak Anda menjelajahi dunia Bissu, yang dipercaya sebagai satu-satunya gender ke-5 di bumi manusia.
Jika dunia hanya mengenal dua gender (laki-laki dan perempuan), maka di Tanah Bugis, Sulawesi Selatan, sekelompok masyarakat membagi lima gender dalam komunitas mereka. Selain pria (oroane) dan wanita (makkunrai), ada calabai (pria yang berperilaku seperti wanita), ada calalai (wanita yang berperilaku layaknya pria), dan ada pula Bissu.
Meskipun secara anatomi biologis mereka bisa wanita atau pria, namun Bissu bukanlah pria, bukan juga wanita. Mereka bukan pria manis, dan bukan pula wanita macho. Mereka dianggap mewakili semuanya, atau sebaliknya, berada ‘di luar batasan gender.’
Sharyn Graham, seorang peneliti dari University of
Western Australia di Perth, Australia, yang menerbitkan penelitian ilmiah mengenai kaum Bissu, menjelaskan, mereka tidak dapat dianggap sebagai banci atau waria. Mereka tidak memakai pakaian dari golongan gender apapun, melainkan setelan tertentu dan tersendiri untuk golongan mereka. Mereka juga menguasai bahasa khusus, yaitu bahasa Torilangi (bahasa orang langit) yang bagi sebagian kalangan dianggap bahasa dewata. Sharyn Graham pula yang mempopulerkan Bissu sebagai gender ke-5.
Kaum Bissu, yang dalam bahasa Bugis diartikan “bersih,” memiliki derajat yang lebih tinggi dalam struktur sosiokultural masyarakat. Mereka memiliki peran ritual, menjadi jembatan komunikasi dan perantaran manusia dengan dewa, hingga berlaku sebagai penyembuh segala penyakit dan bala.
Singkatnya, mereka dipandang sebagai orang suci, pendeta, dukun, orang sakti, bahkan manusia setengah dewa yang tak mempan oleh senjata tajam dan mampu mendatangkan panen berlimpah. Itu semua bisa terjadi lantaran Bissu dipercaya telah melepaskan kodrat dan hasrat biologis mereka. Dengan melepas kodrat dan hasrat biologis, hubungan mereka dengan dewa tidak akan terputus.
Bissu hidup dalam kepercayaan tradisional komunitas kecil di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Dewasa ini, hanya tersisa sedikit Bissu. Itupun dianggap tak lagi sehebat para Bissu sebelumnya. Pada Juni 2011, Bissu Puang Matoa Saidi, salah seorang dari sedikit golongan Bissu Bugis yang tersisa juga sudah meninggal.
Padahal, Puang Matoa Saidi yang bertindak sebagai pemimpin Bissu, juga dikenal sebagai satu-satunya penghafal naskah sastra Bugis, Sureq La Galigo, naskah sastra terpanjang di dunia, melebihi kisah Mahabrata dan Ramayana.
Dalam manuskrip kuno yang mencapai 9.000 halaman folio itu, banyak menceritakan tentang kehadiran Bissu sebagai penyempurna peran dari dewa yang diturunkan dari langit (Dunia Atas) untuk memerintah di Bumi (Dunia Tengah), dan kawin dengan dewa yang dimunculkan dari lautan (Dunia Bawah). Diceritakan juga peran Bissu yang melengkapi kisah Tomanurung (manusia pertama di Bumi versi orang Bugis) dan generasi-generasi berikutnya.
Masih dalam manuskrip sastra kuno itu, dikisahkan bahwa Bissu pertama yang ada di bumi bernama Lae-lae, yang diturunkan bersama Tomanurung. Dari sini sebagian ahli sejarah meyakini tradisi Bissu berawal dari daerah Luwu, lalu menyebar ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Mereka menyingkir dan bersembunyi di daerah Segeri ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan memburu mereka untuk dibasmi.