Alam, Identitas, dan Perlawanan: Suara Penulis di JILF 2025 untuk Hak Masyarakat Adat
Jakarta International Literary Festival (JILF) 2025 kembali menjadi ruang penting bagi para penulis untuk menyuarakan isu lingkungan dan hak masyarakat adat. Dalam sesi Authors’ Forum bertajuk Mempertahankan Hak Masyarakat Adat yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Kamis (14/11/2025), para penulis menegaskan bahwa sastra memiliki peran strategis dalam menjaga ingatan kolektif atas alam dan identitas.
Marsten L. Tarigan membuka diskusi dengan mengangkat kosmologi Batak Karo sebagai sumber penulisan puisinya. Ia menyebut puisi sebagai medium yang mampu menghidupkan kembali cara masyarakat adat memandang alam. “Saat saya menulis deforestasi di Tanah Karo, saya tidak hanya menggambarkan kerusakan ekologis, tapi juga retaknya hubungan manusia dengan struktur kosmos,” ujarnya.
Penulis Abroorza Yusra menambahkan bahwa kerusakan lingkungan di Indonesia merupakan bentuk ekosida yang berdampak langsung pada hak asasi manusia. Menurutnya, paradigma pembangunan yang melihat alam semata sebagai sumber ekonomi telah menjauhkan masyarakat dari akar identitasnya. “Ketika hutan hanya dinilai dari kayu atau logam mulia, kita kehilangan makna yang diwariskan leluhur,” tegasnya.
Pengalaman advokasi masyarakat adat Mollo di Nusa Tenggara Timur turut menguatkan diskusi. Beta Marlinda Nau, atau Mama Fun, menceritakan bagaimana para perempuan Mollo mempertahankan tanah leluhur dari penambangan marmer melalui aksi simbolik menenun di atas batu. “Kami melawan dengan cara damai dan penuh cerita. Leluhur kami selalu menyertai,” katanya.
Mama Fun menekankan pentingnya regenerasi nilai adat melalui keterlibatan anak muda dalam kegiatan berbasis alam. Baginya, menjaga hutan dan tanah bukan hanya tentang mempertahankan ruang hidup, tetapi juga meneruskan filosofi yang membentuk identitas masyarakat adat.
JILF 2025 berlangsung pada 13–16 November di Taman Ismail Marzuki dengan serangkaian program yang menghadirkan penulis, pegiat budaya, serta komunitas literasi dari berbagai daerah. Festival ini menegaskan kembali peran sastra dalam memperkuat solidaritas, menyuarakan keadilan ekologis, dan memperjuangkan hak masyarakat adat di tengah tekanan modernisasi. (Ali | Foto Dok. Istimewa)


