Digitalisasi Finansial Gen Z Bikin Manajemen Uang Kolektif Makin Easy

Di sebuah kafe kawasan Jakarta, sore akhir pekan, sekelompok profesional muda tengah menyusun rencana wisata ke luar kota bulan depan. Villa dan penginapan? Check. Transportasi? Aman. Namun, atmosfer berubah ketika pertanyaan penting meluncur, “Gimana atur patungannya?”
Gelombang diskusi yang semula penuh antusiasme tiba-tiba mandek. Rencana yang sudah matang secara konsep tersandung pada implementasi paling dasar, yakni mekanisme keuangan kolektif. Inilah gambaran umum generasi muda urban, saat proses perancangan pelarian dari rutinitas kerap tersendat administrasi keuangan kolektif.
Belum lagi, grup chat yang sebelumnya riuh dengan ide-ide brilian seketika senyap saat tagihan virtual dan notifikasi transfer masuk. Semangat kolaborasi diuji bukan oleh medan berat, tapi oleh biaya transaksi dalam pengelolaan dana bersama, kebingungan alokasi, ketidakjelasan akuntabilitas, dan friksi akibat pembayaran yang tertunda. Sebuah rencana bisa terlihat solid di permukaan, tapi runtuh hanya karena patungan tak terorganisir. Strategi, sekuat apa pun, tetap butuh eksekusi yang tertib.
Generasi yang tumbuh bersama gawai belajar menyesuaikan prinsip keuangan populer seperti metode 50/30/20 agar lebih lentur dan selaras dengan dinamika sosial mereka yang cair. Namun, rumus literasi finansial daring itu kerap mentok menghadapi kebiasaan "nombok" atau salah hitung usai acara makan bersama.
Dulu, semua ini dikelola manual, baik lewat spreadsheet atau ingatan seadanya. Sekarang, kehadiran fitur seperti Split Bill di aplikasi blu by BCA Digital cukup memudahkan pengguna membagi tagihan dengan langkah mudah. Cukup pindai struk makan, tagihan pun terurai rinci. Siapa pesan avocado toast, atau siapa tambah es kopi dua kali, semua terpampang jelas.
"Selesai makan, langsung scan struk, beres. Tagihan masuk, tanpa perlu hitung manual atau japri satu-satu," ujar Wulan, karyawan BUMN di Jakarta, yang komunitas travelingnya kerap jadi ajang uji fitur aplikasi keuangan digital
Data Bank Indonesia menegaskan pergeseran ini. Hingga Maret 2025, transaksi digital melesat 36,1% (yoy) menjadi 34,5 miliar transaksi. Pengguna aplikasi mobile banking meroket 39,1%, didominasi kelompok 18–35 tahun. Uang perlahan menjelma bahasa baru dalam relasi sosial. Tren ini tak hanya menunjukkan peningkatan adopsi teknologi, tapi juga perubahan perilaku dalam mengelola uang, dari model individual menjadi kolektif dan berbasis transparansi.
Pengelolaan Kolektif Butuh Alat yang Efisien
Dalam kerangka 50/30/20, alokasi untuk kebutuhan seperti penginapan kerap menjadi tantangan kolektif. Di sinilah fitur bluGether jadi solusi. Wulan dan teman-temannya memakainya untuk mengumpulkan dana patungan vila. "Dulu sering ada yang telat transfer. Sekarang dana terkumpul lebih cepat, rencana bisa berjalan mulus," jelasnya. Dengan bantuan digital banking, selesai sudah drama kejar-kejaran transfer yang biasa muncul.
Ruli Himawan Nugroho, Head of Marketing & Communications BCA Digital, melihat benang merah dari pola ini sebagai sinyal perubahan. Transaksi seharusnya tidak menjadi beban tambahan, agar orang bisa lebih leluasa menikmati kebersamaan. "Persiapan matang dan kondisi finansial yang siap membuat setiap kebersamaan baik komunitas maupun keluarga, jadi kesempatan saling mendekat dan belajar. Solusi praktis seperti Split Bill atau bluGether, diharapkan bisa jadi teman perjalanan yang relevan, guna membantu menciptakan momen tenang penuh kesan," katanya dalam sebuah keterangan pers.
Alokasi 30% untuk "keinginan" menemukan metode pengendalian yang baru. Fitur seperti bluDebit Card bisa membantu pengguna pasang batas pengeluaran harian. Notifikasi real-time muncul saat pengeluaran mepet batas. "Waktu jalan-jalan di Orchard Road Singapura, tiba-tiba dapat notif limit belanja hampir habis. Seketika langsung sadar dan stop belanja," cerita Reihan, karyawan agency Jakarta. Kontrol diri yang sulit pun diakuinya bisa mulai tertata saat potensi overspending muncul.
Sementara, bagian 20% untuk tabungan mendapat bantuan visualisasi dari bluValas. Fitur ini memudahkan penargetan tabungan mata uang asing sekaligus memantau fluktuasi kurs. Literasi digital membuat pengguna makin akrab dengan pemanfaatan data kurs dan momen tepat untuk konversi. "Nabung buat trip ke Jepang jadi punya peta jelas. Bisa tunggu kurs Yen bagus buat top up," tambah Reihan yang mengaku bisa hemat hanya dari konversi di waktu tepat.
Teknologi Bawa Keuangan Kolektif Makin Tertib
Lonjakan transaksi digital mencerminkan pergeseran yang semakin terlihat, bahwa uang kini terhubung langsung dengan dinamika sosial, bukan hanya sebagai alat bayar, tetapi juga sarana mengatur relasi. Fitur seperti pemindaian struk atau batas transaksi otomatis memperlihatkan betapa efektifnya teknologi membantu merapikan urusan kolektif yang sebelumnya cenderung rumit. Pengelolaan biaya bersama menjadi lebih transparan, sistematis, dan minim gesekan, terutama di kalangan muda yang terbiasa merancang kegiatan secara spontan namun tetap ingin tertib secara finansial.
Ritme seperti ini membentuk bahwa dan pemahaman, bahwa pengeluaran pribadi dan patungan kelompok berjalan beriringan secara efisien tanpa perlu banyak perdebatan tambahan. Ketika aplikasi perbankan digital mengambil alih tugas administratif, ruang percakapan bisa kembali pada hal yang lebih esensial. Cukup satu pertanyaan yang tersisa setelah transaksi selesai, “Next kita ke mana?” [Angie | Foto: Pexel/Istimewa]