Soto Bu Tjondro, Cita Rasa Otentik Solo yang Bikin Rindu

Dari pinggir jalan hingga jadi ikon rasa rumahan di Jakarta, Soto Bu Tjondro tak hanya menyajikan soto, juga menghadirkan kehangatan, keramahan, dan warisan rasa khas Jawa yang tak pernah berubah.
Bagi pencinta kuliner khas Jawa, menyantap semangkuk soto bukan sekadar soal rasa, tetapi perjalanan nostalgia, pelipur rindu pada kampung halaman, dan penanda kehangatan yang tak lekang waktu. Itulah yang ditawarkan Soto Bu Tjondro, sebuah nama yang kini tak asing lagi di kalangan penikmat kuliner tradisional di Jakarta dan sekitarnya.
Dengan kuah kaldu yang kaya rempah, daging ayam yang lembut, dan sentuhan manis-gurih-pedas yang seimbang, Soto Bu Tjondro adalah warisan rasa, yang dijaga turun-temurun sejak warung ini mulai bertransformasi dari penjual gudeg kaki lima di bilangan Kreo, Ciledug, Tangerang, hingga kini berkembang menjadi tujuh cabang restoran dan tiga Cloud Kitchen di berbagai kota.
“Sebenarnya awalnya kami bukan jualan soto, tapi gudeg,” kenang Operasional Soto Bu Tjondro, Sapto Wahyu, yang akrab disapa Miko, saat kami duduk di salah satu cabang utama di Jalan Pondok Cabe Raya No. 50B, Pamulang, Tangerang selatan, Banten.
Keluarganya dulu merantau dari Solo ke Jakarta sekitar tahun 90-an. Awalnya buka di pinggir jalan, lalu pindah-pindah sampai akhirnya pada tahun 1996, menetapkan hati membangun brand Soto Bu Tjondro.
Nama Bu Tjondro, menurut Miko, diambil dari nama sang kakak, sebuah penghormatan pada sosok yang mewariskan cita rasa rumahan nan otentik. Dan memang, saat semangkuk soto hangat datang ke meja, lengkap dengan soun, tauge, taburan bawang goreng, serta nasi hangat yang bisa dilengkapi ayam goreng kremes atau gudeg khas Solo, ada rasa teduh yang sulit dijelaskan. Seolah pulang, meski belum sempat benar-benar kembali ke rumah.
Membawa kuliner tradisional ke era modern bukanlah perkara mudah. Tantangan datang dari selera pasar yang cepat berubah, hingga tuntutan efisiensi dan adaptasi digital. Namun Soto Bu Tjondro mampu membuktikan bahwa tradisi dan inovasi bisa berjalan beriringan.
“Sejak awal, prinsip kami sederhana, kualitas adalah segalanya. Bahan baku yang kami gunakan harus yang terbaik. Kami tidak pernah main-main soal itu, apalagi sampai menurunkan standar demi keuntungan sesaat. Sering kan kita lihat, begitu bisnis mulai ramai, bahan mulai dikurangi, rasa ikut berubah. Itu justru yang kami hindari. Buat kami, identitas rasa itu kunci, dan itu hanya bisa dijaga kalau bahan bakunya juga konsisten berkualitas. Kami percaya, menjaga kualitas jauh lebih berat ketimbang memulai. Tapi di sanalah seni dan integritasnya, itulah yang terus kami perjuangkan sampai hari ini,” ungkapnya.
Strategi ini terbukti ampuh. Di tengah gempuran restoran kekinian dan tren viral yang silih berganti, Soto Bu Tjondro tetap berdiri kokoh, menjadi pilihan mereka yang mencari kehangatan rasa yang tak berubah. Bukan berarti mereka menutup mata dari perubahan.
Di sisi lain, Soto Bu Tjondro juga aktif memanfaatkan media sosial, bekerja sama dengan platform online, hingga membangun Cloud Kitchen untuk menjangkau pelanggan yang lebih luas.
“Online dan offline kami seimbang. Tapi yang paling penting adalah pelayanan. Di sini kami pegang prinsip 3S: Senyum, Sapa, Sopan. Kami ingin setiap tamu merasa seperti pulang ke rumah.”
Meski soto tetap jadi bintang utama, semangat inovasi tak pernah padam di dapur Soto Bu Tjondro. Teguh Agung Hartanto, putra dari Bu Tjondro sekaligus penerus generasi ke-2, menjadi sosok di balik dorongan untuk terus memperkaya menu. Dari nasi campur ayam kremes yang gurih renyah, gudeg khas Bu Tjondro dengan cita rasa manis gurih dari siraman areh dan sedikit pedas dari krecek hingga nasi rames komplit dan mengenyangkan, semua hadir demi menjawab selera pelanggan yang kian beragam.
Namun, bukan hanya soal rasa. Cita rasa Jawa yang kuat berpadu dengan sentuhan kekinian agar tetap ramah di lidah generasi muda. Interior beraksen kayu, alunan musik tradisional, dan senyum ramah para staf menghadirkan pengalaman bersantap yang lebih dari sekadar makan, tetapi juga menjadi perjalanan rasa dan suasana. Meski tidak semua cabang memiliki ruang semewah gerai utama, nuansa kejawaan tetap terasa, membalut setiap sudut dengan hangatnya akar budaya.
Kini, setelah melalui dua generasi, Soto Bu Tjondro masih memegang teguh satu prinsip, jangan kehilangan rasa. Bukan hanya rasa dalam semangkuk soto, tapi rasa yang dirasakan pelanggan ketika duduk, disapa, dan dilayani. Karena di tengah dunia yang bergerak cepat, keaslian dan kehangatan justru menjadi harta paling berharga.
“Kami tidak ingin Soto Bu Tjondro sekadar jadi tempat makan. Kami ingin ini jadi tempat pulang. Pulang ke rasa, pulang ke suasana, dan pulang ke kenangan,” pungkas Miko.(Naskah: Gia | Foto: Ratim)