Aspartam Diserang Isu Kesehatan, Ini Penjelasan Ilmiah Terbaru

Dalam era digital seperti sekarang, informasi menyebar jauh lebih cepat daripada kemampuan kita untuk memverifikasinya. Sekali sebuah pesan berantai muncul, dampaknya bisa langsung terasa, mulai dari keresahan di masyarakat hingga jatuhnya kepercayaan pada produk yang sudah bertahun-tahun ada di pasaran. Salah satu isu yang kerap muncul dan kembali berulang adalah seputar aspartam, pemanis rendah kalori yang sering disalahpahami. Tanpa data yang jelas, isu ini kembali viral dan menimbulkan keresahan yang sebetulnya tak perlu.
Isu lama tentang aspartam kembali muncul dalam bentuk pesan berantai yang menyebut sederet risiko kesehatan serius, lengkap dengan daftar merek ternama dan kutipan yang diklaim berasal dari kalangan medis. Bagi pelaku industri makanan dan minuman, pola seperti ini bukan hal baru. Namun, dampaknya tetap signifikan. Selain menciptakan kepanikan publik, penyebaran informasi palsu semacam itu berpotensi mengganggu persepsi pasar terhadap produk yang sudah teruji dan memenuhi standar regulator.
Aspartam bukan komponen asing dalam dunia produksi pangan. Pemanis rendah kalori ini telah digunakan secara luas selama lebih dari empat dekade. Dengan tingkat kemanisan sekitar 200 kali lipat dari gula, aspartam memungkinkan produsen mempertahankan cita rasa tanpa menambah beban kalori yang tinggi, menjadi solusi yang relevan bagi konsumen dengan kebutuhan khusus terkait asupan gula.
Menurut dr. Gia Pratama, dokter sekaligus edukator kesehatan, aspartam kerap digunakan sebagai bagian dari strategi transisi dalam diet. “Bagi banyak orang, sulit langsung berhenti dari rasa manis. Aspartam dapat menjadi jembatan, selama konsumsinya masih dalam batas wajar,” jelasnya.
Dari sisi regulasi, fakta ilmiah tentang aspartam konsisten selama puluhan tahun. WHO, FDA Amerika Serikat, Otoritas Keamanan Pangan Eropa, dan BPOM Indonesia menyatakan bahwa pemanis ini aman dikonsumsi, selama tidak melampaui ambang batas harian yang direkomendasikan. Klaim bahwa aspartam menyebabkan kanker otak, kerusakan sumsum tulang, dan penyakit berat lainnya tidak pernah terbukti secara ilmiah.
Bahkan Ikatan Dokter Indonesia telah membantah keterlibatan mereka dalam pesan viral yang beredar. Nama dokter yang dicatut dalam pesan tersebut juga tidak tercatat dalam keanggotaan resmi organisasi. Ini menjadi peringatan bahwa setiap komunikasi publik sebaiknya diverifikasi melalui kanal resmi, bukan berdasarkan pesan tak bertuan.
Dampak lanjutan dari hoaks seperti ini bukan sekadar salah paham di tingkat konsumen. Gangguan persepsi dapat memicu penurunan penjualan, merusak kredibilitas merek, dan menciptakan noise yang memengaruhi pengambilan keputusan pembelian. Dalam konteks bisnis, stabilitas reputasi merek menjadi aset penting yang perlu dilindungi secara aktif.
Perlu diingat, penyebaran informasi palsu memiliki konsekuensi hukum. Pasal 28 ayat 1 UU ITE menyatakan bahwa siapa pun yang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dapat dipidana hingga enam tahun atau dikenakan denda maksimal satu miliar rupiah.
Dengan demikian, membangun budaya konsumsi berbasis informasi yang akurat menjadi kepentingan bersama. Publik berhak mengetahui kandungan produk yang mereka konsumsi, dan informasi itu sebaiknya berasal dari sumber yang dapat dipercaya, baik regulator resmi, organisasi kesehatan, maupun tenaga profesional.
“Di era digital, hidup sehat tak hanya soal menjaga asupan makanan, tapi juga menjaga kejernihan informasi. Menjadi kritis adalah bagian dari tanggung jawab terhadap tubuh kita sendiri,” tutup dr. Gia. [Dok. Istimewa]