Kopi Tuku dan Prinsip Mindful Expansion yang Tetap Dijaga di Tengah Pertumbuhan

Andanu Prasetyo tidak memulai Toko Kopi Tuku dengan ambisi membuka ratusan cabang. Usaha ini lahir dari keresahan kecil, lalu tumbuh bersama ide yang terus disempurnakan. Sejak awal, Tyo, sapaan akrabnya, melihat kopi hanya sebagai pintu masuk. Fokus utamanya adalah membangun relasi, menghadirkan pengalaman, dan menciptakan ruang yang terasa dekat. Untuk semua itu, ritme tumbuh sengaja diperlambat. Bukan karena tidak mampu lebih cepat, melainkan karena tidak ingin kehilangan akar.
Nilai Lokal yang Diperlakukan Serius
Ketika banyak brand kopi mengambil jalan pintas dengan bahan baku impor atau pendekatan bergaya luar negeri, Tyo memilih biji kopi lokal dan gula aren sebagai titik tolak. Keputusan itu bukan sebatas strategi produk. Lebih dari dua tahun ia habiskan untuk meracik resep awal, melalui proses yang penuh eksperimen dan percakapan. Respons pelanggan diamati, saran dari tetangga dicatat, lalu semua diperbaiki sedikit demi sedikit.
Kesederhanaan bisa punya nilai tinggi jika digarap dengan kesungguhan. Gula aren, yang sebelumnya dianggap terlalu biasa, justru dijadikan ciri khas. Biji lokal mendapatkan ruang utama. Ini bukan sekadar diferensiasi, melainkan refleksi cara berpikir yang berpijak pada konteks dan kedekatan.
Menjaga Ritme di Tengah Tekanan Ekspansi
Gerai Toko Kopi Tuku kini mencapai sekitar 60 titik. Target sempat disiapkan untuk menembus angka 100, tetapi rencana tersebut ditinjau ulang. Menurut Tyo, bertambahnya gerai berarti meningkatnya jumlah tim baru. Risiko terbesar terletak pada potensi gesernya kultur kerja yang selama ini dijaga dengan hati-hati.
“Kalau saya buka 30 atau 50 toko baru, itu berarti harus mendatangkan 50 persen orang baru ke dalam keluarga. Saya takut culture-nya geser,” ujarnya.
Pertumbuhan tetap dibuka, tetapi dijalankan dengan kesadaran penuh. Satu toko baru per bulan sudah dianggap cukup cepat. Jauh lebih penting menjaga rasa dan pengalaman antargerai tetap selaras, bukan sekadar memperbanyak titik ekspansi.
Tidak Ingin Sekadar Jualan
Tuku tidak dibentuk hanya untuk mengejar angka penjualan. Proses hadir di kota baru tidak dilakukan tergesa. Pop-up lebih dulu diperkenalkan, sebagai bentuk pengenalan, juga penghormatan terhadap ritme lokal. Merek ini ingin dilihat sebagai bagian dari komunitas, bukan sekadar pemain baru yang masuk tanpa perkenalan.
Kopi hanyalah salah satu alasan orang datang. Beberapa pelanggan justru datang hanya untuk duduk. “Experience itu terdiri dari produk, service, dan ambience,” kata Tyo. Suatu hari, ia melihat seorang ibu hamil yang tidak bisa minum kopi tetap datang ke Tuku dan menikmati infused water gratis. Momen-momen seperti ini dianggap penting, meskipun tidak selalu terlihat dalam laporan penjualan.
“Kita perbanyak alasan orang untuk datang ke Tuku. Di luar sana banyak yang lebih murah, lebih dekat. Tapi kami fokus memperbanyak value,” jelasnya.
Struktur yang Tetap Sederhana dan Terhubung
Rantai pasok dirancang lebih pendek dan terhubung langsung ke produsen. Biji kopi diperoleh langsung dari petani, bukan lewat jalur distribusi berlapis. Efisiensi bukan satu-satunya tujuan. Tyo ingin memastikan nilai ekonomi jatuh ke tangan yang tepat. Pendekatan ini juga tercermin dalam pengelolaan tim internal. Struktur organisasi dibuat datar, komunikasi dijaga tetap terbuka, dan ruang diskusi dibuka luas.
Kultur kerja dibentuk dengan nuansa kolaboratif. Tidak ada kesenjangan tajam antara manajemen dan tim operasional. Semua terlibat dalam membentuk arah. Relasi ini dianggap lebih bernilai dibanding pertumbuhan cepat tanpa fondasi yang jelas.
Prinsip yang Konsisten Seiring Perubahan
Bisnis ini tidak dirancang untuk exit. Tyo cukup terbuka soal itu. Manifesto perusahaan beberapa kali diperbarui, bukan karena arah yang kabur, melainkan karena ruang tumbuh selalu dilihat sebagai proses adaptasi. Prinsip dasarnya tetap dijaga.
"Fast itu bukan tujuan. Saya justru lagi cari cara supaya bisa tumbuh cepat tapi tetap sadar," katanya.
Simbol Perjalanan 10 Tahun
TUKU resmi menghadirkan simbol perjalanan kebaikan mereka di Cipete Raya dengan hadir di Stasiun MRT Cipete Raya pada 2025. Keberadaan ini menjadi penanda sepuluh tahun perjalanan TUKU sejak pertama kali memperkenalkan kopi Indonesia ke tetangga di kawasan Cipete pada 2015. Berawal dari warung kecil yang tumbuh bersama masukan warga sekitar, TUKU kini turut mewarnai ruang publik yang menjadi simpul pergerakan harian masyarakat.
Tyo menyebut kehadiran TUKU di stasiun ini sebagai bentuk syukur dan kebanggaan atas perjalanan panjang bersama #TetanggaTuku. Ia yang sudah tinggal di Cipete Raya selama 25 tahun melihat bagaimana pembangunan MRT sejak 2019 membuka harapan baru, tak hanya bagi bisnis lokal, tapi juga bagi warga yang ingin terus bertumbuh. "Semoga simbol baik ini dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh tetangga," ujarnya.
Kopi hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Di balik setiap kedai, ada usaha menjaga kepercayaan, membangun kebiasaan, dan menciptakan ruang yang terasa familiar. Istilah "tetangga" sering muncul bukan sebagai strategi komunikasi, tapi refleksi cara pandang terhadap pelanggan dan komunitas sekitar. Tuku tidak berdiri sendiri. Usaha ini tumbuh bersama lingkungan yang merawat dan dirawat.
Tuku bukan brand yang dibentuk oleh strategi agresif atau dorongan modal besar. Prosesnya dibangun dari konsistensi, pengamatan, dan kesediaan untuk menempuh jalur yang tidak cepat. Di tengah budaya bisnis yang menilai kesuksesan dari kecepatan, keputusan Tyo memilih untuk pelan dan sadar justru menjadi kekuatan. Membangun sesuatu yang besar itu penting, tetapi menjaga agar yang sudah dibangun tetap bermakna sering kali jauh lebih sulit.