Kenaikan Gaji Hakim 280%, Apakah Kunci Menghentikan Korupsi di Pengadilan?

Pada 12 Juni 2025, di Balairung Mahkamah Agung, Presiden Prabowo Subianto membuat gebrakan yang jarang terjadi di dunia peradilan Indonesia. Dengan suara tegas dan penuh keyakinan, ia mengumumkan kenaikan gaji hakim yang tidak main-main.
“Saya Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia ke-8, hari ini mengumumkan bahwa gaji-gaji hakim akan dinaikkan demi kesejahteraan para hakim dengan tingkat kenaikan bervariasi sesuai golongan, di mana kenaikan yang tertinggi mencapai 280 persen. Dan golongan yang naik tertinggi adalah golongan yang paling junior, golongan yang paling bawah,” kata Prabowo.
Kebijakan ini bukan hanya angka besar semata, tetapi juga merupakan sinyal serius bahwa negara menyadari betapa pentingnya memperbaiki fondasi hukum yang selama ini rapuh akibat stagnasi kesejahteraan para hakim selama 18 tahun terakhir.
Prabowo mengungkap fakta mengejutkan yang selama ini mungkin luput dari perhatian publik, “Saya dapat laporan ada hakim yang masih kontrak, kontrak (rumah) tidak punya rumah dinas dan sebagainya.” Ia menegaskan, pemerintah tidak hanya menaikkan gaji, tetapi juga akan membenahi fasilitas perumahan bagi para hakim secara besar-besaran.
Perkara yang ditangani hakim selama ini bernilai triliunan rupiah, sambungnya, namun penghargaan negara terhadap mereka dinilai sangat minim.
Langkah ini jelas menjadi koreksi atas stagnasi penghasilan yang menahun, yang berpotensi melemahkan integritas para penegak hukum yang menjadi benteng terakhir keadilan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024, hakim golongan III A dengan masa kerja 0–1 tahun kini memperoleh gaji pokok sebesar Rp2.785.700, naik dari sebelumnya Rp2.064.100 berdasarkan PP Nomor 94 Tahun 2012.
Bila dihitung berdasarkan rencana kenaikan maksimal 280 persen seperti yang disebut Presiden Prabowo, maka gaji hakim junior bisa mencapai hampir Rp7,8 juta. Itu pun belum termasuk tunjangan bulanan. Sebelum kenaikan, tunjangan hakim baru mencapai sekitar Rp8,5 juta per bulan. Kini, dengan regulasi baru, tunjangan tersebut naik menjadi Rp11,9 juta, sehingga total pendapatan bulanan hakim junior bisa mendekati Rp20 juta. Dengan pendapatan total yang kini jauh lebih layak, diharapkan godaan korupsi dapat diminimalkan.
Namun kebijakan ini tak hanya mengubah peta kesejahteraan para penegak hukum, tetapi juga memicu perdebatan tajam, apakah dengan menggandakan penghasilan para hakim, praktik korupsi yang selama ini menodai wajah peradilan bisa benar-benar ditekan?
Sebagian pihak menaruh harapan besar bahwa peningkatan gaji akan membentengi hakim dari godaan suap dan tekanan kecurangan. Namun, realitas korupsi yang terus muncul justru menunjukkan bahwa persoalan tidak sesederhana angka di rekening. Lantas, di mana posisi kenaikan gaji ini dalam upaya membangun sistem peradilan yang bersih dan berintegritas?
Fakta lapangan menunjukkan kenyataan yang tidak sederhana. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa kasus-kasus suap masih muncul, bahkan di antara hakim yang memiliki pendapatan total mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Hal ini menegaskan bahwa “keserakahan” dan lemahnya pengawasan lebih menjadi akar masalah ketimbang sekadar gaji yang kecil.
Dilansir dari Tempo, Erma Nuzulia, peneliti ICW, menegaskan, “Kalau hakim yang sudah naik jabatannya dan sudah lama berkiprah, gajinya puluhan juta rupiah. Apalagi kalau sudah jadi ketua pengadilan, tunjangannya sekitar Rp 50 juta per bulan.” Menurutnya, masalah utama adalah mekanisme pengawasan, bukan besaran gaji semata.
Korupsi di Lingkungan Peradilan, Masalah Sistemik
Kasus korupsi yang mencuat, mulai dari eks Ketua Pengadilan Negeri Surabaya yang terseret kasus suap pembebasan terdakwa pembunuhan Ronald Tannur, hingga mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar yang diduga memiliki uang tunai hampir Rp 1 triliun dan 50 kg emas batangan hasil praktik suap, membuktikan bahwa korupsi di peradilan tidak bisa diatasi hanya dengan menaikkan gaji.
Ketua Mahkamah Agung Sunarto menyoroti masalah ini secara lugas: “Korupsi terjadi akibat pertemuan tiga hal, yakni kebutuhan, keserakahan, dan kesempatan.” Maka, penguatan pengawasan dan pencegahan “kesempatan” menjadi kunci mutlak untuk memberantas korupsi peradilan.
Dampak untuk Masyarakat
Bagi masyarakat luas, kebijakan ini menghadirkan harapan baru bahwa para hakim kini memiliki kesejahteraan yang layak, yang diharapkan berdampak pada peningkatan profesionalisme dan independensi. Namun tanpa bukti nyata, seperti hukuman tegas bagi koruptor dan penghentian jual-beli putusan, masyarakat akan tetap skeptis. Kepercayaan publik hanya akan tumbuh bila pengadilan benar-benar menjadi benteng keadilan, bukan perpanjangan tangan kekuasaan atau modal bisnis.
Kenaikan gaji hakim hingga 280 persen adalah langkah berani dan taktis dari pemerintah untuk memperbaiki salah satu pilar utama sistem hukum nasional. Namun, untuk benar-benar mengikis korupsi dan memperkuat keadilan, diperlukan keberanian yang sama besar untuk mereformasi mekanisme pengawasan, mutasi, promosi, serta penegakan disiplin dan hukum internal di lembaga peradilan.
Jika tidak, kesejahteraan yang lebih baik hanya akan menjadi selimut tipis yang menutupi persoalan lama, sistem peradilan yang rawan korupsi dan manipulasi.
Presiden Prabowo sudah mengirim sinyal tegas bahwa perbaikan kualitas hakim adalah fondasi utama menuju sistem hukum yang adil dan bersih. Kini, tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa “gaji yang naik” benar-benar menjadi awal dari era baru peradilan Indonesia yang bebas korupsi dan menegakkan keadilan substantif untuk rakyat.(Gia)