Rokok Elektronik Tak Lebih Aman, Ahli Paru Ingatkan Risiko Sama Berat dengan Rokok Konvensional

Oleh: Angie (Editor) - 15 June 2025

lRook elektronik kerap dianggap lebih aman dibanding rokok konvensional. Namun, berdasarkan sejumlah studi dan temuan klinis, anggapan itu dinilai keliru. Dokter dari RSUP Persahabatan menyebut rokok elektronik justru membawa risiko kesehatan yang tidak kalah serius.

“Banyak yang merasa rokok elektronik lebih aman, padahal faktanya tetap berbahaya. Bahkan, ada risiko-risiko baru yang ditemukan dari rokok elektronik,” kata Direktur Utama RSUP Persahabatan, Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), dalam pemaparan edukasi publik, Senin (16/6).

Ia menyebut, dua penyakit paru yang paling sering ditemukan di RS Persahabatan terkait langsung dengan kebiasaan merokok, yakni penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan kanker paru. Data tahun 2016 di RSUP Persahabatan menunjukkan 83,6% kasus kanker paru pada laki-laki berkaitan dengan kebiasaan merokok.

“Kanker paru dan PPOK mendominasi, dan 85% kasus kanker paru menurut WHO disebabkan oleh rokok. Bila kebiasaan merokok ditekan, maka kasus ini bisa ditekan juga,” ujarnya.

Prof. Agus menambahkan bahwa rokok elektronik bukanlah solusi berhenti merokok. Menurutnya, jenis rokok ini justru membawa risiko kesehatan yang belum sepenuhnya diketahui publik dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan paru, termasuk EVALI (E-cigarette or Vaping Use-Associated Lung Injury) yang sudah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

 

 

“Baik rokok biasa maupun rokok elektronik sama-sama mengandung nikotin, sama-sama menimbulkan kecanduan, dan sama-sama berbahaya bagi paru dan organ lain,” ujarnya. Ia mengingatkan bahwa bentuk dan aroma yang terlihat ‘ringan’ dari vape tidak mencerminkan dampak medisnya yang serius.

Sebagai bagian dari upaya nasional, Kementerian Kesehatan RI bersama Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dan Kenvue meluncurkan Gerakan Berhenti Merokok untuk Indonesia Sehat dalam sebuah acara di JW Marriott Jakarta. Kampanye ini ditujukan untuk merespons lonjakan jumlah perokok aktif di Indonesia sekaligus memperkuat layanan berhenti merokok di berbagai fasilitas kesehatan.

Untuk membantu berhenti merokok, RSUP Persahabatan menggunakan pendekatan kombinasi antara farmakoterapi dan non-farmakoterapi. Terapi farmakologi yang umum digunakan adalah nicotine replacement therapy (NRT) dalam bentuk permen karet (gum), semprotan, dan plester kulit. Metode ini diklaim meningkatkan keberhasilan berhenti merokok hingga lima kali lipat dibanding hanya konseling.

“Selain gum, terapi lain seperti hipnosis, akupuntur, dan olahraga juga digunakan untuk mendukung keberhasilan berhenti merokok,” kata Prof. Agus.

Ia menegaskan pentingnya empati dan dukungan tenaga medis kepada pasien yang ingin berhenti merokok. “Kesulitannya karena kecanduan, efek withdrawal, kebiasaan yang sudah melekat, dan pengaruh lingkungan. Tapi bantuan medis terbukti efektif,” tutupnya.