Program Master of Sustainability Diluncurkan Monash Indonesia, Fokus Cetak Talenta Hijau

Dalam upaya mempercepat transisi ekonomi hijau dan juga menjawab kebutuhan mendesak akan tenaga ahli keberlanjutan, Monash University, Indonesia meluncurkan program Master of Sustainability dalam ajang Sustainability Forum 2025 di kampus BSD, Kamis (22/5). Program ini dirancang untuk memperkuat kapasitas profesional dalam mendukung target net zero emission 2060 sekaligus menjembatani kebutuhan industri akan SDM terampil di sektor energi, konstruksi, keuangan, dan pertanian berkelanjutan.
Permintaan talenta hijau di Indonesia tercatat melonjak 11,6% dalam satu tahun terakhir, namun pasokannya hanya tumbuh 5,6%. Sementara itu, IRENA memproyeksikan transisi energi dapat menciptakan hingga 400.000 lapangan kerja baru pada 2030. Kesenjangan ini mencerminkan tantangan besar dalam menyelaraskan pertumbuhan ekonomi hijau dengan ketersediaan tenaga kerja siap pakai.
“Transisi energi bukan sekadar soal teknologi, tapi tentang SDM. Saat ini, baru 12% lulusan vokasi yang memenuhi standar industri,” kata Eniya Listiyani Dewi, Dirjen Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM.
Program Master of Sustainability akan dimulai tahun ajaran 2025/2026 dan mengusung pendekatan interdisipliner yang mencakup mitigasi iklim, transisi energi, ekonomi sirkular, hingga kebijakan publik. Mahasiswa akan menjalani pembelajaran berbasis proyek, kolaborasi lintas sektor, serta penempatan kerja langsung di perusahaan, lembaga pemerintah, dan LSM.
“Program ini tidak hanya menawarkan gelar, tapi membangun ekosistem talenta untuk memimpin perubahan,” ujar Prof. Matthew Nicholson, Pro-Vice Chancellor Monash University, Indonesia.
Dukungan industri pun mengalir. “Inovasi teknologi harus diiringi penguatan SDM. Kolaborasi seperti ini penting untuk mencetak pelaku perubahan di sektor keberlanjutan,” jelas Astri Wahyuni, Director of Public Affairs and Sustainability Danone Indonesia.
Fokus utama program ini adalah membekali profesional dengan keterampilan teknis dan kepemimpinan dalam mengelola proyek berkelanjutan, termasuk aspek pembiayaan hijau, risiko iklim, dan pengembangan kota rendah karbon. Program ini terbuka bagi peserta dari latar belakang insinyur, ekonom, hingga pembuat kebijakan.
“Lulusan kami akan jadi penghubung antara regulasi, bisnis, dan teknologi,” tambah Dr. Annette Bos, dari Monash Sustainable Development Institute.
Monash juga telah menjalin kemitraan dengan 15 perusahaan dan lembaga untuk memastikan kurikulum tetap relevan dengan kebutuhan industri. Langkah ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement dan SDGs, sekaligus menjadi investasi jangka panjang bagi masa depan ekonomi hijau.