Saat Kepemimpinan Jadi Awal Kehancuran: Kisah Nyata 5 Perusahaan yang Runtuh Karena Pemimpinnya Sendiri

Bagi dunia bisnis yang bergerak dinamis dan ramah dengan ketidakpastian, hadirnya krisis acap kali diasosiasikan dengan fluktuasi pasar, disrupsi teknologi, atau tekanan ekonomi global. Namun realitas yang lebih getir ternyata sering kali tersembunyi di tempat yang paling strategis: ruang rapat dan meja direksi. Dalam makalah yang diterbitkan oleh Andy Bertsch, dibahas bagaimana keputusan manajemen yang kurang berkembang dan kepemimpinan buruk berperan dalam kebangkrutan salah satu perusahaan besar, Kodak pada 2012.
Kepemimpinan yang tidak adaptif, sarat konflik, atau kehilangan daya visi strategis menjadi faktor bagi runtuhnya reputasi, merosotnya kepercayaan investor, hingga kolapsnya model bisnis. Menjadi pelajaran sekaligus poin penting yang harus dihindari, berikut kisah nyata dari lima perusahaan atau bisnis dari dalam dan luar negeri yang runtuh akibat adanya krisis kepemimpinan itu sendiri.
1. Nyonya Meneer
Nyonya Meneer adalah legenda dalam industri jamu Indonesia. Berdiri sejak tahun 1919, merek ini telah melewati berbagai generasi dan menjadi simbol kekuatan lokal. Namun pada tahun 2017, perusahaan ini dinyatakan pailit.
Bayangkan membangun warisan keluarga selama hampir satu abad, hanya untuk melihatnya runtuh di tangan generasi penerus. Setelah pendiri wafat, perusahaan dikelola oleh anak-cucunya. Generasi kedua dan ketiga keluarga pendiri perusahaan terlibat konflik serius dalam struktur kepemimpinan, terutama setelah kepemimpinan beralih ke Charles Saerang, cucu dari pendiri Nyonya Meneer.
Pada satu periode, perusahaan mengalami dual kepemimpinan yang membingungkan pihak luar. Terdapat dua entitas yang mengklaim sebagai PT Nyonya Meneer, dengan pemilik dan direksi berbeda. Situasi inilah yang menyebabkan keputusan strategis sulit diambil, dan seringkali terlambat.
Rencana Charles yang untuk membawa Nyonya Meneer go international dan membuka klinik jamu modern, terhambat dan gagal oleh tarik-ulur internal yang menguras energi serta waktu, dan justru membawa perusahaan ke dalam kehancuran.
2. PT Sariwangi Agricultural Estate Agency
Siapa yang tak kenal teh Sariwangi? Inovator teh celup di Indonesia ini pernah mendominasi pasar. Namun di balik pencapaian itu, ambisi ekspansi justru menjadi bumerang. Bisnis berkembang, tapi tanpa dasar manajemen risiko yang kuat. Utang membengkak, arus kas terganggu, dan perlahan perusahaan terseret ke jurang kebangkrutan pada 2018 lalu.
Sempat melejit di era 1970–1980-an, pada dekade 2000-an perusahaan mulai melakukan berbagai ekspansi usaha. Namun, ekspansi dilakukan ke sektor-sektor yang tidak langsung berkaitan dengan core bisnis mereka. Tak hanya itu, Ekspansi ini dilakukan tanpa feasibility study yang komprehensif, dan didanai sebagian besar dari utang.
Akibatnya, Perusahaan mulai kesulitan membayar supplier dan bunga utang. Meningkatnya ketergantungan terhadap Unilever, karena Sariwangi tidak memegang merek dagang lagi. Puncaknya, saat Unilever menghentikan kontrak kemitraan pada 2015, posisi finansial PT SAEA langsung goyah.
Dari kisah Sariwangi, Masalah perusahaan bukan pada ide besar, tapi pada kesiapan eksekusi. Terlalu fokus pada “menang besar”, namun lupa bertanya: apakah kita siap jika gagal? Inilah contoh kegagalan sense of strategic foresight atau kemampuan langka yang membedakan pemimpin biasa dari pemimpin visioner.
3. Kodak
Kodak menjadi pelajaran penting dalam sejarah manajemen global. Perusahaan ini sebenarnya menemukan teknologi kamera digital pada tahun 1975. Namun inovasi ini justru dikubur karena takut mengganggu bisnis film seluloid mereka yang sangat menguntungkan saat itu. Padahal, inovasi sudah ada di depan mata. Hingga akhirnya dunia beralih ke fotografi digital, Kodak justru tertinggal dan tak mampu mengejar.
Menurut teori Adaptive Leadership dari Heifetz (2009), pemimpin harus mampu “membaca masa depan dan mengubah dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mengubah organisasinya.” Di sinilah Kodak gagal. Para eksekutifnya tidak berani melepaskan zona nyaman dan enggan memimpin transformasi yang menantang status quo. Tanpa keberanian strategis, Kodak kehilangan momentum dan akhirnya mengajukan perlindungan kebangkrutan pada 2012.
4. Lehman Brothers
Lehman Brothers bukan hanya perusahaan investasi biasa. Ia adalah ikon Wall Street yang akhirnya menjadi simbol kegagalan sistem keuangan global. Saat krisis subprime mortgage terjadi, manajemen puncaknya justru terus menggandakan eksposur pada produk keuangan berisiko tinggi. Tak ada pengawasan memadai, tak ada transparansi.
Bukan karena mereka tidak tahu risikonya. Tapi karena ego menang atas logika, dan budaya perusahaan memberi ruang bagi “yes man” ketimbang pengingat risiko. Saat integritas dan kontrol internal lemah, kehancuran tinggal menunggu waktu.
5. PT Garuda Indonesia
Meski masih eksis hingga hari ini, PT Garuda Indonesia, maskapai penerbangan nasional Indonesia, sempat menghadapi krisis keuangan yang serius pada periode 2018–2019. Perusahaan ini mengalami krisis bukan semata karena tekanan pasar, tetapi karena tata kelola yang terciderai oleh kepemimpinan yang kehilangan arah etis.
Kasus-kasus pelanggaran prinsip GCG (Good Corporate Governance), konflik kepentingan, dan kejanggalan laporan keuangan membuat reputasi perusahaan merosot. Kepemimpinan etis bukan soal moral tinggi semata, tapi tentang konsistensi, transparansi, dan keteladanan dalam setiap keputusan bisnis. Dan ketika ini runtuh, maka kepercayaan pelanggan dan investor ikut runtuh bersamanya.
Lima kisah ini memberi satu benang merah: sebesar apa pun potensi pasar, sekuat apa pun produk, jika pemimpinnya salah membaca arah, maka perusahaan akan berjalan ke jurang. Kepemimpinan bukan hanya tentang jabatan, tapi tentang kemampuan membaca masa depan, mengelola ego, mengambil keputusan sulit, dan yang paling penting adalah membangun kepercayaan tim.
Bagi para pebisnis muda yang sedang merintis usaha, kesuksesan bukan hanya soal ide hebat, tapi soal kesiapan menjadi nahkoda yang tidak panik saat ombak datang. Karena dalam bisnis, bahaya bisa datang bukan dari luar, tapi dari dalam kokpit sendiri.
Jadi, apakah anda benar-benar siap memimpin, atau hanya ingin terlihat memimpin?.(Arfi| Ilustrasi: Istimewa)