Ternyata Kepemimpinan Buruk Jadi Biang Gagalnya Bisnis

Sudahkah perusahaan Anda memiliki pemimpin yang tak hanya mampu mengelola, tetapi juga menginspirasi dan membentuk budaya kerja yang unggul?
Kegagalan dalam dunia bisnis bukanlah hal asing. Namun, pernahkah kita benar-benar menyelami penyebab utamanya? Sebuah studi menarik dari Australian Centre for Business Growth mengungkap fakta, satu dari empat CEO yang pernah mengalami kegagalan bisnis mengakui bahwa kurangnya kepemimpinan dan perencanaan strategis adalah biang keladinya. Selama empat tahun, pusat riset ini mewawancarai 650 CEO dari perusahaan kecil dan menengah. Mereka diminta untuk merenung, apakah mereka pernah terlibat dalam bisnis yang gagal, baik milik sendiri maupun tempat mereka bekerja. Dari hasilnya, 134 CEO menjawab “ya”, dan mereka menyebutkan lebih dari 250 alasan atas kegagalan tersebut. Namun, ada benang merah yang jelas, sebagian besar berakar dari kepemimpinan yang lemah dan kurangnya arah yang jelas.
Dr. Jana Matthews, Direktur Australian Centre for Business Growth, menyampaikan bahwa banyak CEO ternyata belum sepenuhnya memahami peran dan tanggung jawab mereka sebagai pemimpin. Menurutnya, terlalu banyak pendiri dan CEO yang sebenarnya tidak tahu “apa yang harus dilakukan, kapan harus melakukannya, atau bahkan mengapa hal itu penting.”
Dalam pandangannya, menjadi pemimpin bukan hanya soal jabatan. Seorang CEO harus mampu merumuskan visi, mengarahkan perusahaan, membangun tim eksekutif yang solid, menciptakan budaya kerja yang tangguh, dan mengelola sumber daya dengan bijak dari karyawan, keuangan, pelanggan, hingga mitra bisnis. Mereka juga bertanggung jawab atas tata kelola yang baik, menciptakan sinergi antar bagian, dan membentuk perusahaan yang terus belajar. Ketika hal-hal mendasar ini diabaikan, bukan hanya pertumbuhan yang terhambat, bisnis bisa benar-benar tumbang.
Penelitian ini memperkuat apa yang sebelumnya telah dipaparkan oleh para akademisi seperti Cannon & Edmondson (2025), Madanchian & Taherdoost (2019), serta Rubin et al. (2009) bahwa kegagalan kepemimpinan sering kali mencerminkan kurangnya kemampuan manajerial, perencanaan strategis, kerja tim, hingga etika kerja yang kuat.
Di sisi lain, studi terbaru bertajuk Australian Women CEOs Speak yang dirilis oleh Korn Ferry dan Australian Institute of Company Directors (AICD) menyoroti sisi yang lebih cerah. Studi ini mengungkap sepuluh faktor keberhasilan para CEO perempuan di Australia, termasuk gaya kepemimpinan yang kolaboratif dan adaptif, motivasi tinggi, kepercayaan diri, serta latar belakang pendidikan yang solid.
CEO bukan sekadar gelar tertinggi di dalam struktur perusahaan. Mereka adalah perancang visi, penjaga kompas arah organisasi, sekaligus motor utama di balik setiap langkah transformasi.
Di balik keputusan strategis yang diambil dalam ruang rapat, ada beban tanggung jawab yang besar, memastikan setiap bagian perusahaan bergerak selaras, menjawab harapan para pemangku kepentingan, dan bersiap menghadapi risiko yang kerap datang tanpa aba-aba.
Meskipun tidak selalu terjun langsung ke aktivitas operasional sehari-hari, peran CEO sangat vital dalam menyatukan visi lintas departemen agar tetap teguh pada tujuan besar perusahaan. Mereka adalah agen perubahan yang tak hanya harus responsif terhadap krisis global, tapi juga peka terhadap pergeseran nilai dan harapan generasi pekerja masa kini.
Namun, ukuran keberhasilan seorang CEO telah bergeser. Kini, bukan hanya tentang mencetak angka di laporan keuangan, lebih dari itu, mereka dituntut mampu menumbuhkan budaya kerja yang sehat, memicu inovasi yang relevan, dan memberi kontribusi nyata bagi masyarakat luas.
Di tengah dinamika bisnis yang terus berubah, strategi dan teknologi saja tidak cukup. Yang membedakan organisasi luar biasa dari yang biasa-biasa saja adalah kepemimpinan.
Para ahli seperti Bass, Locander, dan Yammarino menegaskan bahwa kepemimpinan adalah penggerak utama adaptasi dan kinerja organisasi. Ini bukan sekadar soal memberi arahan, tetapi bagaimana seorang pemimpin membangun kepercayaan, menginspirasi, dan menciptakan arah yang jelas bagi timnya.
Menariknya, studi oleh Ogbonna dan Harris menunjukkan bahwa kepemimpinan paling efektif ketika selaras dengan budaya organisasi yang kuat dan adaptif. Dengan kata lain, kepemimpinan harus hadir dalam ekosistem budaya yang mendukung agar benar-benar berdampak.
Lebih lanjut, penelitian Bass dan Abdul Rashid menegaskan bahwa budaya organisasi yang kuat mempercepat proses pengambilan keputusan dan respons terhadap perubahan, sedangkan gaya kepemimpinan yang tepat meningkatkan kepuasan dan produktivitas kerja.
Dampak Kepemimpinan yang Nyata
Persepsi karyawan terhadap lingkungan kerja sangat dipengaruhi oleh tindakan dan perilaku pimpinan langsung mereka. Pimpinan langsung berperan penting dalam membentuk persepsi karyawan tentang lingkungan kerja karena mereka merupakan representasi organisasi yang paling dekat dan sering berinteraksi dengan karyawan.
Kualitas hubungan antara pemimpin dan timnya menjadi fondasi dari iklim kerja yang harmonis. Pemimpin yang mampu menciptakan rasa aman dan saling menghargai akan membentuk organisasi yang tidak hanya produktif, tetapi juga sehat secara budaya.
Pengalaman Karyawan, Fondasi dari Segalanya
Menurut Gallup, pengalaman karyawan adalah “perjalanan yang ditempuh karyawan dalam organisasi/perusahaan Anda”, dimulai dari hari pertama hingga hari terakhir mereka. Setiap interaksi, setiap keputusan kepemimpinan, turut membentuk pengalaman ini.
Organisasi yang mampu menciptakan pengalaman kerja positif melihat hasil yang luar biasa, seperti kepuasan pelanggan meningkat, inovasi tumbuh, dan profitabilitas bisa melonjak hingga 23% lebih tinggi. Pemimpin memainkan peran kunci dalam hal ini, dengan memberikan kejelasan peran, peluang pengembangan, pengakuan, dan keseimbangan kerja-hidup yang sehat.
Keterlibatan Karyawan, Energi yang Mendorong Kinerja
Keterlibatan karyawan (employee engagement), bukan sekadar istilah dalam dunia SDM, melainkan cerminan dari seberapa dalam seorang karyawan merasa terhubung secara emosional dengan tempat mereka bekerja. Ketika keterlibatan ini tumbuh, kita bisa melihatnya dalam bentuk nyata: karyawan bekerja dengan semangat tinggi, membangun hubungan positif dengan pelanggan, dan lebih memilih bertahan di perusahaan daripada mencari peluang lain (turnover rendah).
Namun, leterlibatan karyawan tidak terjadi begitu saja, ia adalah hasil dari budaya yang dibentuk oleh kepemimpinan. Ketika pemimpin menunjukkan nilai-nilai inti organisasi melalui tindakan nyata, mereka membangun komitmen emosional yang kuat dari karyawan.
Data terbaru dari HRD Forum (2024) menunjukkan fakta menarik, ketika pemimpin benar-benar mendengarkan dan mengambil langkah bermakna dari masukan karyawan, karyawan menjadi 5,3 kali lebih mungkin untuk berencana bertahan di perusahaan setidaknya selama satu tahun ke depan. Ini bukan hanya soal angka, tetapi bukti bahwa kepemimpinan yang peduli, adaptif, dan responsif mampu menciptakan ruang kerja yang lebih sehat dan positif.
Di Indonesia sendiri, tingkat loyalitas karyawan masih tergolong tinggi dibandingkan pasar global. Ini adalah peluang emas bagi para pemimpin untuk memperkuat keterlibatan yang sudah ada. Dengan pendekatan yang lebih manusiawi, berpusat pada karyawan, empati, dan komunikasi terbuka, pemimpin dapat memperkuat fondasi loyalitas ini menjadi keunggulan kompetitif perusahaan.
Retensi Karyawan, Menjaga Talenta Berharga
Dikutip dari Businesswire, 24% responden meninggalkan perusahaan mereka karena merasa tidak dipercaya. Angka tersebut menunjukkan bahwa hubungan emosional di tempat kerja, terutama kepercayaan memiliki pengaruh besar terhadap keputusan seseorang untuk bertahan atau pergi.
Tak heran jika gaya kepemimpinan menjadi penentu utama dalam menjaga loyalitas tim. Pemimpin yang mampu menciptakan lingkungan kerja yang positif, sehat secara emosional, dan mendukung pertumbuhan individu akan membuat karyawan merasa betah dan terhubung. Mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang.
Sebaliknya, ketika budaya kerja mulai beracun, dampaknya bisa sangat merusak. Dalam Real Estate Witch Great Resignation Survey, lebih dari 30% responden menyebut “lingkungan kerja yang toxic” sebagai alasan utama mereka mengundurkan diri. Ketegangan, ketidakadilan, hingga komunikasi yang buruk bisa menjadi bom waktu dalam organisasi.
Masalah manajemen juga menjadi penyebab signifikan. Berdasarkan laporan 2021 People Management Report, 60% dari 2.000 karyawan mengaku resign karena buruknya pengelolaan manajemen. Sementara itu, rasa tidak dihargai juga menjadi pemicu besar, sebanyak 66% karyawan menyatakan siap meninggalkan pekerjaan jika usaha dan kontribusi mereka tidak diakui.
Fenomena seperti Great Resignation dan Quiet Quitting bukan muncul tanpa sebab. Mereka adalah sinyal bahwa banyak karyawan merasa tidak lagi mendapat ruang untuk tumbuh dan dihargai. Di sinilah peran kepemimpinan diuji.
Pemimpin yang tangguh bukan hanya mereka yang cerdas secara strategi, tapi juga peka secara emosional. Mereka membangun budaya kerja yang sehat, menutup celah bagi perilaku toksik, dan memastikan setiap anggota tim merasa dihargai, didengar, dan penting. Karena pada akhirnya, organisasi terbaik adalah yang mampu mempertahankan orang-orang terbaiknya, bukan hanya merekrut mereka.
Hasil Akhir dari Kepemimpinan yang Efektif
Di balik kesuksesan jangka panjang sebuah organisasi, selalu ada satu benang merah yang tak bisa dipisahkan, kualitas kepemimpinan. Pemimpin yang baik bukan hanya menentukan arah, tapi juga memberi warna dan energi pada perjalanan seluruh tim.
Kehadiran mereka bisa menginspirasi semangat, atau sebaliknya, melemahkan motivasi. Maka, ketika seorang pemimpin benar-benar menyadari betapa besar dampak dari keputusan dan sikap mereka, mereka memegang kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang penuh makna dan produktivitas tinggi.
Karena sejatinya, kepemimpinan bukan cuma soal memberi arahan. Ini adalah tentang menciptakan pengalaman kerja yang membangun. Seorang pemimpin yang efektif adalah sumber semangat, tempat bertumbuhnya motivasi, dan bahkan pengaruh positif yang menjangkau kehidupan pribadi anggota timnya. Kepemimpinan yang seperti ini tidak dibangun dari kekuasaan, melainkan dari hubungan yang autentik, hubungan yang mendorong pertumbuhan, kolaborasi, dan rasa memiliki.
Ketika pengalaman, keterlibatan, dan retensi karyawan dirawat dengan serius, semuanya bermuara pada satu hal “profitabilitas”. Tim yang solid dan merasa dihargai akan bekerja lebih baik, memberikan layanan yang lebih personal, dan beroperasi dengan lebih efisien. Kepuasan pelanggan naik, performa meningkat, dan organisasi tumbuh.
Namun sebaliknya, jika pemimpin abai, konsekuensinya tak hanya terasa di atas kertas. Tingginya tingkat keluar-masuk karyawan (turnover) bukan sekadar beban finansial, biaya rekrutmen, pelatihan, dan waktu adaptasi bisa sangat tinggi, tetapi juga merusak moral tim, mengganggu ritme kerja, dan menurunkan semangat kolektif.
Pemimpin yang hebat tahu bahwa mereka tidak hanya memimpin pekerjaan, tapi juga memimpin manusia. Dan ketika manusia merasa dihargai, dipercaya, dan didukung, di sanalah potensi terbaik mereka benar-benar muncul.
Pada akhirnya, baik dari kisah sukses maupun kegagalan, satu pelajaran penting yang bisa kita petik adalah kepemimpinan bukan sekadar posisi, melainkan tanggung jawab besar untuk membentuk masa depan perusahaan.
Naskah: Gia dari berbagai sumber