Kisah Polygon Bikes, Brand Sepeda Lokal yang Menembus Pasar Global

Nama Polygon mungkin sudah akrab di telinga para pencinta sepeda internasional. Namun, hanya sedikit yang tahu bahwa merek ini bermula dari garasi kecil di Sidoarjo.
Tak banyak yang tahu, nama besar Polygon yang dikenal di berbagai negara sesungguhnya lahir dari kota di Indonesia. Brand ini dibangun oleh Soejanto Widjaja, lulusan Teknik Industri ITB, yang memilih jalur tak biasa, yakni membangun industri sepeda premium di tanah air. Kini, 30 tahun berselang, Polygon telah memproduksi lebih dari 1 juta unit per tahun, dengan jaringan distribusi di 29 negara, dari Jerman hingga Amerika Serikat.
Berikut fakta yang memperlihatkan Polygon berkembang jadi salah satu nama penting di industri sepeda dunia:
1. Didirikan Insinyur Visioner dengan Bisnis Kuat
Soejanto Widjaja memiliki latar belakang teknik dari ITB. Sejak awal ia sudah berani menanam investasi di bidang riset dan rekayasa presisi. Polygon menjadi merek pertama di Asia yang memproduksi full-suspension mountain bike (1993), yang membuka jalan bagi Indonesia di ajang-ajang balap sepeda internasional. “Bagi kami, kualitas bukan slogan. Itu prinsip,” ujarnya. Bahkan rangka sepeda Polygon menggunakan material dari Jepang dan Jerman untuk menjaga ketahanan dan presisi.
2. Produksi 700 Ribu Unit Sepeda per Tahun
Dari bengkel sempit seluas 200m², PT Insera Sena kini memiliki pabrik seluas 18 hektar dengan teknologi las robotik dan sistem QC berstandar ISO 9001. Di fasilitas ini, lebih dari 1400 pekerja memproduksi 2000 sepeda setiap hari. Polygon memegang kendali penuh dari proses desain hingga perakitan akhir, strategi ini penting untuk menjaga konsistensi kualitas. Sekitar 70% hasil produksinya diekspor ke negara-negara dengan standar tinggi seperti Belanda, Jerman, dan Australia.
3. Aktif di Balap Dunia
Polygon tidak hanya mendukung komunitas, tapi juga ikut membentuk peta persaingan di ajang-ajang internasional. Mereka menjadi sponsor utama bagi sejumlah tim downhill dan enduro dunia, serta menyediakan unit sepeda untuk atlet profesional. Salah satu pencapaiannya datang lewat Polygon Collosus N9, yang berhasil meraih posisi kedua pada Industry Trophy di Trophy of Nations Enduro World Series 2022.
Di saat bersamaan, teknologi andalan seperti Floating Suspension System yang sudah memasuki generasi ketiga, terus disempurnakan. Sistem ini mampu meredam getaran hingga 40% dan jadi keunggulan utama produk sepeda gunung.
4. Jawab Tren Kendaraan Ramah Lingkungan
Merespons tren mobilitas hijau, penjualan e-bike secara umum di Indonesia tumbuh signifikan tiap tahunnya. Polygon pun turut di dalamnya. Segmen commuter menjadi target utama, dengan kisaran harga Rp 15–30 jutaan. Produk ini didesain modular dan dilengkapi baterai tahan hingga 100 km. Meski belum masuk pasar sepeda lipat secara masif, Polygon memilih fokus di lini e-bike premium.
5. Komunitas Aktif Jadi Strategi Branding Jangka Panjang
Tanpa membanjiri pasar, Polygon lebih selektif. Mereka hanya bermitra dengan dealer yang memiliki tim teknis bersertifikasi dan layanan purna jual yang kuat. Kini, terdapat 500 gerai di 29 negara, termasuk 120 di Eropa. Di Indonesia, Polygon aktif membina lebih dari 50 komunitas lewat program Polygon Cycling Community yang mencakup pelatihan mekanik, tur kota, hingga event kolaboratif.
Polygon tak cuma hadir sebagai sponsor atau penyedia sepeda bagi atlet dan tim profesional, tetapi ikut terlibat langsung dalam mendorong prestasi mereka di ajang-ajang balap dunia. Baik di lintasan road bike maupun mountain bike, nama Polygon ikut bersaing melalui sepeda-sepeda andalannya. Selain itu, Polygon juga didukung fasilitas manufaktur untuk mengontrol kualitas sejak dari proses produksi hingga perakitan akhir. Pendekatan ini memperkuat standar mutu mereka di pasar global, termasuk saat mempersiapkan sepeda untuk kebutuhan balapan internasional.
Dengan filosofi “global mindset, local execution,” Polygon mendesain produknya mengikuti tren pasar dunia, namun tetap memusatkan produksi di Indonesia demi efisiensi dan kontrol kualitas.