Nina Hatumena (Head of People and Culture PT Asuransi Allianz Life Indonesia), Bangun Lingkungan Kerja Suportif dan Inklusif
Naskah: Angie Diyya Foto: Abdul Razzak Jauhar
Allianz Indonesia masuk ke dalam jajaran perusahaan dengan budaya kerja terbaik dan penuh dukungan terhadap setiap karyawan. Sebuah prestasi yang mengukuhkan Allianz sebagai ‘Great Place to Work’ dalam arti yang sesungguhnya.
Mengikuti panggilan hati memang bukan keputusan mudah. Bagi Nina Hatumena, langkah ini berarti meninggalkan dunia teknik yang selama ini dikuasainya untuk memasuki bidang baru yang jauh berbeda, sebuah keputusan yang ia ambil demi memenuhi hasratnya bekerja lebih dekat dengan manusia.
“Saya merasa lebih bersemangat saat berinteraksi dengan orang dibandingkan dengan mesin,” ungkapnya saat ditemui Men’s Obsession di kantornya. Hasrat inilah yang kemudian mendorongnya beralih ke bidang human capital. “Saya adalah tipe orang yang selalu ingin mencoba hal baru, bertemu orang baru, dan mencari pengetahuan baru,” tambahnya.
Meski berlatar belakang pendidikan teknik, Nina membawa perspektif baru ke bidang ini. Pendekatan analitis dan empatinya menjadi kombinasi yang unik dalam menyusun strategi pengembangan karyawan. “Human capital tak sekadar pekerjaan, tapi juga cara membangun hubungan, memahami kebutuhan, dan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung pertumbuhan,” ujarnya.
Selama berkecimpung di bidang ini selama hampir 19 tahun, ia menggambarkan perjalanan kariernya sebagai petualangan penuh blessing. Perjalanan kariernya pun didukung oleh kepercayaan para pemimpin sebelumnya. “Saya merasa beruntung mendapatkan dukungan dari para pemimpin yang luar biasa dan memberikan kepercayaan penuh kepada saya dalam menjalankan peran sebagai profesional di bidang human capital,” ujar Nina yang berupaya merancang program pengembangan karyawan secara efektif sekaligus relevan dengan kebutuhan zaman.
Sebagai Head of People and Culture di Allianz Indonesia, transformasi digital menjadi salah satu tantangan terbesar yang ia hadapi. Teknologi seperti AI kini digunakan untuk rekrutmen, analisis prediktif, dan pengelolaan karyawan. Nina mencatat bahwa perubahan global, seperti pertumbuhan teknologi dan ekspektasi sosial, memengaruhi peran human capital. Tren seperti kesejahteraan mental, keberlanjutan, dan digitalisasi menjadi tantangan bagi perusahaan untuk beradaptasi. Menurutnya, transformasi ini memaksa perusahaan untuk mereset ulang pendekatan mereka.
“Misalnya, dalam proses rekrutmen, teknologi seperti AI membantu kami menemukan kandidat yang lebih tepat dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan,” ujarnya. Ia pun menekankan pentingnya pendekatan berbasis data dalam menghadapi perubahan ini. Sebab data membantu memahami perilaku karyawan dan membuat keputusan strategis.
Dari segi karyawan, untuk mendukung dan memberikan fleksibilitas lebih bagi mereka, Allianz telah mengimplementasikan hybrid working arrangement bekerja dari rumah atau kantor sesuai kebutuhan. Sebab menurut Nina memimpin dengan menghargai hasil lebih dari sekadar jam kerja akan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan dan keberlanjutan.
Kesejahteraan karyawan juga menjadi prioritas penting. Oleh karenanya, Allianz memperkenalkan program Employee Assistance Program (EAP), yang memberikan akses kepada karyawan untuk berkonsultasi dengan tenaga ahli. “Pandemi mengajarkan kita pentingnya keseimbangan antara kesehatan fisik dan mental. Program ini memberikan ruang bagi karyawan untuk merasa didukung,” kata Nina.
Keberagaman dan inklusi pun menjadi fondasi budaya kerja Allianz. Salah satu inisiatifnya adalah penetapan kuota minimum untuk perempuan di posisi kepemimpinan guna menciptakan kesetaraan peluang. “Kami ingin memastikan semua karyawan, tanpa memandang gender atau latar belakang, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang,” ujarnya.
Dengan sederet program tersebut, tak mengherankan bila pada awal tahun ini, Allianz Indonesia dinobatkan sebagai salah satu perusahaan terkemuka dengan predikat Great Place to Work 2024, yang menjadi pengakuan atas keberhasilan Allianz Indonesia dalam menciptakan budaya kerja yang positif dan inklusif. Pencapaian ini diperoleh melalui serangkaian survei yang melibatkan seluruh karyawan. Hasil survei menunjukkan bahwa 92% karyawan merasa diperlakukan secara setara tanpa memandang posisi maupun usia.
“Tentu itu merupakan satu hal yang menunjukkan bahwa perusahaan sangat-sangat mendukung diversity, equity, dan inclusion. Ini menjadi bukti bahwa perusahaan benar-benar menerapkan budaya kerja yang menghargai perbedaan dan memberikan ruang bagi setiap individu untuk berkembang,” tambah sosok ramah ini.
Dalam dunia kerja yang terus berubah, Nina melihat peran human capital berkembang menjadi lebih strategis. Ia percaya bahwa generasi muda, khususnya Gen Z, membawa tantangan dan peluang baru. “Generasi Z itu dikenal sebagai generasi yang open-minded dan kreatif. Mereka mencari lingkungan kerja yang mendukung minat, bakat, serta keseimbangan hidup” jelasnya. Melihat dinamika tersebut, Nina menekankan pentingnya perusahaan menciptakan pengalaman kerja yang lebih baik, selaras dengan kebutuhan generasi muda yang semakin dinamis.
Selain itu, ia juga menyebut empat kompetensi yang dibutuhkan HR masa depan. Literasi digital, pemahaman data untuk pengambilan keputusan strategis, kecerdasan emosional, dan storytelling, penting sebagai kunci bagi HR masa depan. “Storytelling membantu menyederhanakan informasi kompleks sehingga lebih mudah dipahami karyawan,” tambahnya. Kompetensi ini, menurut Nina, penting untuk membangun koneksi lebih baik dengan tim sekaligus menyelaraskan strategi perusahaan dengan kebutuhan karyawan. Itulah yang ia tekankan.
Nina menutup pembicaraan dengan pandangannya tentang masa depan human capital. “HR tidak lagi hanya administratif. Kita adalah penggerak transformasi organisasi. Dengan memahami data, membangun budaya kerja yang inklusif, dan memanfaatkan teknologi, kita dapat menciptakan pengalaman kerja yang lebih baik,” tegasnya.