Totalitas dr. Harvey untuk Kemanusiaan

Oleh: Syulianita (Editor) - 04 August 2023

Naskah: Sahrudi Foto: Edwin Budiarso

Beberapa petugas Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di bilangan Jakarta Barat dan Jakarta Selatan sudah mahfum jika pada tengah malam mobil dr. Harvey Romolo mampir maka dia tidak sekadar mengisi bensin tapi juga ‘numpang’ istirahat. Sekadar mengusir rasa kantuk nan hebat setelah seharian hingga larut malam harus menangani pasien sebelum kemudian menuntaskan istirahatnya di rumah, hingga terbangun pada pukul 5 pagi dan bersiap kembali mengabdi. “Ini adalah irama hidup yang pas dengan saya dan telah menjadi bagian dari diri saya,” ia membuka percakapan. Ia tak pernah menganggap siklus kesehariannya itu sebagai beban karena buatnya itu adalah passion-nya.

Menjadi seorang dokter, diakui dr. Harvey Romolo, Sp.BTKV, BMedSc, semula bukanlah pilihan utama keluarga bagi dirinya. Sebab keluarga intinya tidak ada yang menjadi dokter. “Ayah, ibu, nenek dan semua keluarga adalah pebisnis. Tapi saya kurang berbakat di bisnis. Saya memilih kedokteran,” ia mengawali percakapan.

Untuk membuktikan keseriusannya menjadi dokter, dia tidak mau tanggung-tanggung mengejar ilmu. Selepas kuliah kedokteran di Universitas Indonesia ia kemudian meraih gelar Bachelor of Medical Science di Melbourne University, Australia. Lalu kembali ke Indonesia untuk mengambil Spesialis Bedah Thorax Kardiak Vaskular di Universitas Indonesia.

“Kebetulan ada program Internasional, kuliah di Kedokteran UI, jadi gelarnya dua. Dokter Umum dan peneliti University of Melbourne” terang Harvey yang menjalankan praktik sebagai dokter spesialis Bedah Thorax, Kardiak, dan Vaskular di RS Kanker Dharmais, RS Pondok Indah - Puri dan Tzu Chi Hospital. “Awalnya saya magang dengan salah satu guru saya di RS Harapan Kita. Beliau adalah ahli bedah jantung yang menjadi inspirasi saya,” akunya. 

Harvey sendiri tidak menyangka mendapat kesempatan bisa dekat dengan guru-guru kedokterannya itu. “Saya kira itu rahasia Tuhan,” imbuhnya. 

Nah, karena ia melihat para gurunya itu mengabdi dengan penuh totalitas dan dedikasi Harvey pun berusaha bisa menjadi seperti mereka. “Karena mereka sangat hebat di mata saya. Saya melihat mereka seperti jauh sekali di atas gunung, tapi saya ingin sedikit saja bisa mirip seperti mereka,” tekadnya.

Bekerja dengan dokter-dokter profesional dan dedikatif, diakui Harvey membuatnya lebih banyak melakukan introspeksi diri untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya. Ia bangga bila bisa melayani pasien dengan baik tanpa menilai latar belakang sosial bahkan tanpa melihat apakah si pasien memakai rujukan BPJS atau tidak. Yang pasti dia ingin setiap pasien yang ditanganinya bisa merasa nyaman untuk kemudian mencapai kesembuhan. Karena itu ketelatenan dalam melayani pasien dengan hati menjadi pegangannya.

“Misal ada pasien yang kondisinya sudah lanjut keganasannya. Sebagai manusia, melihat seseorang yang menghadapi penyakit sedemikian beratnya, saya pribadi berharap mereka tetap nyaman, dan bisa melewati semua ini dengan tersenyum,” ucap dr. Harvey. Memang, lanjutnya, “walaupun pengobatan tidak bisa menyembuhkan secara sepenuhnya, tapi harapannya mereka bisa melalui hari-hari dengan nyaman dengan pelayanan yang tidak membuat mereka merasa stres. Baik itu di operasi besar, maupun hanya bertemu di poliklinik, diharapkan mereka bisa datang dan menikmati pelayanan. Saya harap bisa memberikan sesuatu yang membuat mereka melupakan sejenak bahwa mereka sedang menghadapi satu penyakit berat. Jadi mereka seperti mengobrol dengan temannya. Supaya mereka tidak merasa terbebani,” terangnya.

Namun demikian, berbagi waktu dengan keluarga di tengah load kerja yang tinggi tetap menjadi perhatiannya. Meskipun ia mengakui hal itu sebagai sesuatu yang kadang terlewatkan. “Saya merasa beruntung selama ini menerima banyak nasihat dari senior tentang pekerjaan dan keluarga. Saya dan rekan-rekan saya dekat dengan banyak guru yang mengingatkan tentang itu. Mereka selalu mengingatkan bahwa kita bekerja untuk keluarga, sehingga waktu untuk keluarga harus disisipkan. Karena itulah, weekend saya selalu diluangkan buat keluarga. Saya merasa beruntung mempunyai senior, manajemen, maupun direksi yang mendukung, sehingga waktu cuti saya fleksibel. Saya mudah mendapatkan cover dari sejawat,” tutur pria yang pernah berkeinginan menjadi dokter di medan perang Timur Tengah ini.

Dalam bekerja dr. Harvey mengaku tidak punya filosofi tertentu. Ia hanya bergerak pada azas manfaat. “Di mana pun saya ditempatkan saya akan merasa beruntung dan semoga itu bisa bermanfaat, baik itu untuk pasien, diri sendiri, maupun lembaga rumah sakit. Saya yakin semua profesi pun tidak kalah mulia, saya rasa asal kita bisa menjalani dengan baik,” pungkasnya. Tapi ia punya harapan besar yakni agar semua rakyat Indonesia bisa terlayani di bidang kesehatan dengan baik. Karenanya perlu peningkatan dari jumlah tenaga medis, kualitas pelayanan, dari segi ilmu, etika, dan empati. “Akhir-akhir ini banyak usaha dari teman-teman sejawat dan himpunan untuk ke arah sana. Harapan saya agar bisa bersama-sama karena sebetulnya semua berharap yang sama, memberikan pelayanan yang lebih baik untuk masyarakat. Semoga koordinasinya bisa lebih padu lagi. Sebab banyak sekali orang yang lebih pintar dan lebih tahu, saya tentu mendukung mereka semua,” pungkasnya.