Helmy Faishal Zaini Melacak Sejarah dari Piringan Hitam

Oleh: content (Administrator) - 01 June 2013
Naskah: Gyatri Fachbrilian Foto: Dok.MO

Helmy mengaku baru setahun gemar mengumpulkan piringan hitam (PH). Ketertarikannya terhadap benda yang sudah ada sejak tahun 1948 tersebut tak lepas dari pengaruh gurunya,  Habib Faiz Malang.

“Dia sudah lama memprovokasi saya ke piringan hitam. Awalnya saya tak terlalu ngeh. Setelah saya mendengarkan ternyata bagus sekali karena dia analog. Saya tanya kenapa piringan hitam lebih nikmat ketimbang CD sekalipun. Ia menjawab, CD itu cakramnya terlalu tepat, sementara telinga itu butuh geser sedikit. Makanya jika orang sudah ke piringan hitam, kecenderungannya CD akan ditinggalkan,” terang Pak Menteri.

Pembangunan Daerah Tertinggal ini. Setiap dua minggu sekali, terutama hari Sabtu dan Minggu, suami dari Santi Anisa tersebut kerap menyambangi Jl. Surabaya yang merupakan sentral PH di Jakarta. “Saya kalau hunting biasanya dari pukul 11.00 WIB sampai tutupnya toko-toko. Kadang ditemani isteri, Patwal juga sering ikut, tapi saya bilang ke Patwal jangan ikut terus karena saya kan ingin lebih leluasa,” ucapnya.

Karena seringnya ia ke Jl. Surabaya, beberapa penjual bila menawarkan PH kepadanya tidak menggunakan standar harga. “Salah satunya adalah Mang Ebod,” ucapnya. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu juga rajin berburu PH di internet. Terkadang para penjual PH tidak menarifkan harga. Mereka sudah senang jika piringan hitamnya dibeli oleh Pak Menteri. Soal harga, menurut Helmy, sangat bervariatif. Dan dalam perburuan, ia pun sering menemukan berbagai hal menarik, salah satunya penemuan plat yang sangat langka. Meski tergolong langka, plat tersebut harganya cukup murah hanya Rp20 ribu.