Oleh: -

Melakukan Yang Terbaik dan Sepenuh Hati

Naskah: Gia Putri Foto: Sutanto

“Kami tidak ingin hubungan dengan klien hanya saat senangnya saja. Kami harus memahami ketika kondisi klien sulit dan tetap membantu dengan sepenuh hati. Kami tidak boleh mengurangi kualitas layanan kami.”

Tak pernah tebersit dibenak Thomas Oloan Siregar untuk terjun ke dunia hukum. Bahkan, ia sempat bercita-cita menjadi seorang akuntan, sehingga selepas lulus bangku sekolah menengah atas, ia memilih melanjutkan pendidikan di Universitas Udayana, Bali, Jurusan Akuntasi. Tapi, setahun berselang, tepatnya pada tahun 1992, ia mencoba peruntungan lain. “Saya mengikuti tes UMPTN dan berhasil diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jujur, kala itu saya belum tahu gambaran tentang hukum. Namun, orangtua mendorong untuk mencoba menjalaninya. Setelah mempelajarinya, malah tumbuh ketertarikan terhadap dunia hukum,” ungkapnya.

Lulus tahun 1997, Thomas tak lantas bekerja di bidang hukum, ia memulai sebagai bankir di Bank Danamon. Namun, baru setengah tahun, ia merasa jiwanya bukan di perbankan dan memutuskan untuk beralih profesi menjadi lawyer di firma hukum Dewi Soeharto & Rekan. “Lalu pada 2000, saya diajak oleh teman, Hermawan Pamungkas untuk bergabung di firma hukumya. Dan, pada 2003, saya memutuskan untuk mendirikan firma hukum sendiri, yakni SHM Partnership,” papar pria berdarah Batak ini.

Hampir dua dekade, SHM Partnership tetap berkibar, bahkan berkat reputasi positif yang dijaga, firma hukum ini meraih penghargaan law firm dengan kasus IPO terbanyak pada tahun 2020 serta masuk ke dalam 100 besar kantor hukum terbaik di Indonesia.

“Saya bersyukur di tengah pandemi Covid-19, kami tetap dapat beracara. Memang tantangannya lebih besar, apalagi ketika pemerintah memberlakukan kebjiakan pembatasan sosial berskala besar, sehingga komunikasi dengan klien tidak bisa dilakukan secara tatap muka. Sementara, prosesproses beracara, khususnya perdata tetap berjalan dan kita harus hadir di pengadilan. Saya bersyukur, kami bisa melewati itu,” ungkap ayah dua anak ini.

Ia juga memaparkan strategi lainnya untuk bertahan di tengah krisis, yakni harus memahami posisi klien. “Masa pandemi ini kami tidak kekurangan kerjaan, tetapi kami harus sadari ini berdampak pada kemampuan klien dalam membayar. Kami tidak ingin hubungan dengan klien hanya saat senangnya saja. Kami harus memahami ketika kondisi klien sulit dan tetap membantu dengan sepenuh hati. Walaupun kemampuan klien dari sisi keuangan berkurang, tetapi kami tidak boleh mengurangi kualitas layanan kami. Ini yang kami pegang, terutama selama pandemi,” ia menggarisbawahi. Karena bagi pria yang hobi fotografi ini, pengacara bertugas untuk memberikan jasa hukum. “Sehingga harus memberikan yang terbaik dan melayani dengan sepenuh hati,” imbuhnya.

Bicara soal makna keadilan di mata hukum, Thomas mengatakan keadilan susah didefinisikan secara pasti, karena tiap orang pasti punya rasa yang berbeda. “Karena adil itu sangat relatif, adil bagi seseorang, untuk yang yang lain mungkin tidak. Namun yang pasti, kami berusaha membantu masyarakat untuk memperoleh hak-hak dasar mereka. Apa itu hak-hak dasar? Misalnya, hak untuk menyatakan pendapat dan berkumpul,” jelasnya.

Lebih lanjut Thomas mengatakan, wajah hukum di Indonesia, sudah banyak perbaikan, walaupun jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kita masih jauh tertinggal. “Kita masih memiliki banyak peraturan yang didasarkan pada pemerintahan kolonial Belanda dulu. Contohnya, hukum acara perdata kita yang belum banyak berubah, yang hanya sekadar tambal sulam. Namun, saya melihat ada political will dari pemerintah membuat ini lebih baik. Saya harapkan, teman-teman yang berprofesi di bidang hukum, di parlemen, dan pemerintah dapat mengusahakan ini lebih cepat, karena walaupun sudah berjalan ke arah yang lebih baik, tapi temponya masih lambat,” terang Thomas.

Sebagai sosok yang sudah lama berkecimpung di dunia hukum, Thomas menegaskan, seorang pengacara harus bermental baja dan siap bekerja di bawah tekanan. “Bagi yang berprofesi sebagai litigator atau yang bergerak di bidang dispute resolution, maupun mereka yang bergerak di bidang korporat, pasti dikejar-kejar waktu. Saat saya pertama kali bekerja di kantor hukum, sudah biasa pulang pukul enam pagi, tiga hari berturut-turut. Etos kerja under pressure ini harus dihadapi para lawyer, khususnya bagi yang muda muda,” paparnya.

Kemudian, kadang kala lawyer terbawa dengan permasalahan kliennya. “Kadang kita merasa bahwa masalah yang dihadapi klien menjadi masalah di hidup kita. Sebetulnya hal-hal seperti itu tidak baik dan dapat membuat kita lebih ter-pressure lagi. Tetapi, inilah dunia lawyer, kalau tidak dapat beradaptasi bekerja di bawah tekanan, saya sarankan lebih baik pikirkan alternatif profesi lain bagi mereka yang lulusan fakultas hukum,” ungkapnya.

Selain itu, seorang lawyer harus terus haus ilmu, karena hukum yang terus berkembang. “Jangan berhenti belajar, karena saat ini antara ketentuan hukum dan industri sendiri berkembang pesat. Kita harus selalu bisa mengimbangi agar tidak tertinggal,” tegas pria yang gemar memakai batik ini.

Di dunia hukum, Thomas memiliki beberapa sosok yang menjadi inspirasi dan panutannya, pertama Todung Mulia Lubis, seorang ahli hukum dan Guru Besar Hukum Pidana di Universitas Sumatera Utara serta aktivis pembela hak-hak asasi Indonesia “Beliau sangat luar biasa, saya sendiri pernah bekerja sama dengan beliau,” jelasnya.

Kedua yang juga luar biasa baginya adalah mendiang Adnan Buyung Nasution, yang dikenal sebagai seorang advokat andal, aktivis pro demokrasi, dan pendiri Lembaga Bantuan Hukum Jakarta atau atau LBH.  “Saya juga pernah bekerja sama dengan beliau dulu. Kedua sosok ini sangat menginspirasi dan saya kagumi di dunia hukum,” ujarnya.

Menutup pembicaraan, Thomas menguntai mimpi mulianya, yaitu ingin lebih banyak membaktikan diri kepada masyarakat. “Banyak lawyer yang terjun ke dunia politik, tadinya sempat terpikir, tetapi setelah saya pelajari ternyata saya kurang cocok. Saya tidak punya obsesi lebih, hanya ingin lebih banyak mengabdi kepada masyarakat. Saya lahir dari zaman Orde Baru, yang pada saat sekolah, saya menikmati pendidikan yang baik dengan biaya yang sangat murah. Sementara sekarang, biaya pendidikan, misalnya untuk tingkat strata satu sangat mahal. Oleh karena itu, saya ingin bisa melakukan pengabdianpengabdian kepada masyarakat, salah satunya melalui jalur pendidikan,” pungkasnya.