Perkampungan Adat Mbaru Niang di Wae Rebo

Oleh: Angie (Editor) - 01 March 2022

UNESCO mencatat bahwa rumah adat NTT Mbaru Niang didapuk sebagai struktur bangunan tradisional paling langka di dunia.

 

Ketika mendengar nama Nusa Tenggara Timur, hal pertama yang muncul di benak banyak orang mungkin adalah Labuan Bajo yang terkenal dengan pantai dan lautnya yang indah, atau Pulau Komodo yang eksotis. Namun masih di provinsi yang sama, terdapat sebuah desa kecil bernama Wae Rebo yang mulai mendapat perhatian wisatawan sebagai surga tersembunyi di atas awan. Sebutan tersebut tidak salah diberikan mengingat letak desa yang berada di wilayah pegunungan dengan ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut (Mdpl).

Wae Rebo menjadi kebanggan bagi masyarakat Indonesia, khususnya Flores. Letaknya berbatasan dengan Taman Nasional Komodo, di Kabupaten Manggarai Barat, Wae Rebo menarik perhatian banyak orang dengan keunikannya. Salah satunya adalah rumah tempat tinggal warga yang berarsitektur unik, yakni Mbaru Niang. Ini merupakan salah satu rumah tradisional asli Kabupaten Manggarai yang kini hanya tersisa tujuh bangunan saja. Pada tahun 2012 silam, Mbaru Niang mendapat penghargaan UNESCO Asia-Pacific Awards dalam kategori Cultural Heritage Conservation sebagai upaya menyelamatkan struktur terunik dan langka di dunia ini.

Suku Manggarai mewarisi arsitektur tradisional terdapat di desa Wae Rebo dengan komplek rumah adat berbentuk kerucut sebagai warisan leluhur. Fondasi Mbaru Niang dibungkus dengan ijuk dan plastik. Tiang pancang utama bernama ngando yang terbuat dari bahan kayu warok setinggi 15 meter yang ditempatkan tepat di tengah rumah Mbaru Niang sebagai penyeimbang. Bentuk hunian yang dibuat melingkar merupakan bagian dari filosofi penduduk Wae Rebo yang percaya akan keseimbangan dari pola terpusat. Keunikan rumah adat Wae Rebo adalah rumah terbuat dari kayu worok dan bambu yang dibangun tanpa paku.Konstruksi bangunan Mbaru Niang saling terikat dengan menggunakan tali rotan yang sangat kuat.

Bagian tengah Mbaru Niang, pola unik berbentuk lingkaran compang yang tersusun dari batu-batu tua dapat ditemukan. Compang ini diyakini masyarakat setempat sebagai rasa syukur dan penghormatan kepada Tuhan dan nenek moyang, sekaligus memohon perlindungan dari marabahaya. 

Rumah adat Mbaru Niang secara vertikal terbagi atas lima lantai, masing-masing mempunyai nama serta fungsi tersendiri. Lantai pertama atau lantai dasar disebut lutur, dipakai untuk tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat ini terbagi menjadi tiga, yaitu bagian depan ruangan bersama, bagian dalam adalah kamar-kamar yang dipisahkan dengan papan, dan dapur ada di bagian tengah. Lantai kedua merupakan loteng yang disebut lobo, berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari.

Lantai ketiga dinamakan lentar, yaitu tempat untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan. Lantai keempat disebut lempa rae, digunakan untuk menyimpan bahan makanan. Sedangkan lantai lima disebut hekang kode sebagai tempat untuk sesajian persembahan kepada para leluhur. Pengunjung dapat merasakan tinggal di rumah adat milik warga. Di luar lingkaran inti yang berisi tujuh buah Mbaru Niang, ada pula dua rumah yang digunakan sebagai tempat menginap untuk para tamu yang berkunjung. Satu rumah dapat menampung hingga 35 orang.

Bentuk rumah panggung yang diterapkan menjadi rumah yang sesuai untuk kondisi alam di sekitar Desa Wae Rebo. Berdasarkan letak geografisnya, desa Wae Rebo berada pada wilayah rawan gempa dan hutan liar, sehingga aman dari bencana dan menjadi tempat perlindungan dari hewan buas. (Angie | Foto: Pinterest)