Berbincang Melalui Tangan

Oleh: Giatri (Editor) - 22 May 2018

Naskah: Giattri F.P Foto: Edwin Budiarso

If sign language in one way to speak with your hands, then playing the brushs is another, for each painters possesses a painting of great distinction, power and character.

‘People Who Speak With Hands’ adalah pameran yang menghadirkan karya-karya terbaik dari 18 seniman di berbagai daerah Indonesia. Menariknya, pameran yang dihelat Jakarta Illustration Visual Art (JIVA) di Gallery Artpreneur Centre pada 28 April – 28 Mei ini dimemas laiknya album kompilasi musik lagu-lagu terbaik dari tiap musisi.

“Jadi katalog pamerannya dikemas berbentuk kotak seperti album CD,” ujar Manajer Art JIVA Ghanyleo.

Tujuan pameran ini, sambung pria yang berpenampilan eksentrik itu, salah satunya memupuk rasa cinta terhadap Seni Rupa Indonesia dan sebagai pengembangan budaya nasional agar bisa terus eksis dan mendapat apresiasi dari masyarakat.

Ghany sendiri, menyuguhkan beberapa lukisan, salah satunya `berjudul ‘The Sealed Secrets in My Dream’(Rosita Natalia Willim). Karya ini menceritakan terkadang dalam setiap diri manusia tersimpan rahasia-rahasia yg masih tersegel dalam impian serta harapan masing-masing orang, baik itu mimpi yang merupakan suatu misteri atau impian yang masih merupakan teka-teki yang ada dalam alam bawah sadar kita, walaupun belum tampak jelas, tapi membuat kita semangat untuk bangun pagi dan melakukan banyak aktifitas.

Mimpiku berada jauh diluar sana, begitupun bagianmu dalam dongeng rahasia, teruslah berputar, tunjukan jalannya, bawa aku hari ini. Kerinduan untuk cinta & kesempatan untuk bebas, jangan merasa sendirian dan tertekan, seseorang akhirnya akan datang, menenangkan pikiran & menjauh dari badai. Seperti katamu: "We all are blury creature, Actually all human read different stories to different people, no one is clear, no one has no secret".

Sugiri Willim menyuguhkan lukisan berjudul ‘Worth of Mounth’, menginterpretasikan kekuatan pemikiran Raden Ajeang Kartini yang dituangkan ke dalam tulisan ‘Habis gelap, Terbitlah terang’ yang tetap hidup hingga hari ini tersebar ke pelosok negeri dari mulut ke mulut membuka bungkusan plastik (simbol keterbelengguan wanita saat itu).

Marsma (purn) Akbar Linggaprana menampilkan karya berjudul ‘Global Warming’. Manusia harus diberi kesadaran akan pentingnya alam bagi kehidupannya. Alam memiliki keterbatasan dibanding kemampuan manusia dalam mengeksploitasi alam. Manusia memanfaatkan alam guna memperoleh sumber makanan dan kebutuhan sosial lainnya, akan tetapi disadari atau tidak tindakannya dapat berakibat kerusakan faktor-faktor ekologis.

“Manusia perlu menyadari, ia dan perilakunya adalah bagian dari alam yang saling memengaruhi. Naluri untuk mempertahankan hidup seharusnya memberi motivasi manusia untuk melestarikan ekosistem dan lingkungannya,” imbuhnya.

‘Feel The Vive’ adalah judul karya Guntur Jong Merdeka. Lukisan tersebut menggambarkan seorang anak kecil yang masih punya harapan untuk lebih baik dalam hidupnya, walaupun dalam keadaan sulit ia terus berusaha untuk bertahan hidup, terlihat api yang digenggamnya sebagai simbol harapan dan disandingkan dengan simbol Coffee Shop yang menginterpretasikan banyaknya orang yang lebih memilih menghabiskan banyak waktu ke coffee shop ketimbang peduli dengan sekelilingnya.

Sys Paindow mempersembahkan lukisan berjudul ‘The Red Barong’. Barong Ket adalah Barong yang paling sering ditampilkan di pertunjukan Kecak dan Calonarang. Jika dilihat dari bentuk badan hingga wajah, barong ini merupakan perpaduan antara macan, singa, sapi, dan naga. Ukurannya juga cukup besar. Wajah barong ini berwarna merah, badannya ramping dengan semacam punduk di dekat kepala. Sama halnya dengan manusia, barong ada sosok wanita dan pria.