Arus Balik Cakrawala 2017

Oleh: Giatri (Editor) - 12 March 2018

Naskah: Giattri F.P, Foto: Sutanto

Dihadapkan pada pilihan untuk melukiskan pengadegan sosial secara gamblang dan masuk ke dalam simbolisme abstrak, seniman Yos Suprapto memilih keduanya sekaligus. Dalam karya-karyanya yang dipamerkan di Galeri Nasional kemarin bertajuk ‘Arus Balik Cakrawala 2017’, ia menampilkan kebolehannya menyampaikan komentar dan kritik sosial dalam bahasa simbolisme.

Tampaknya, Yos adalah seniman yang ingin menyajikan pada kanvasnya cerita yang mengandung ‘masalah’ sehingga bisa mengusik ‘ketenteraman’ kita. Ia bercerita dengan garis, warna, dan figur, keseluruhannya membayangkan suatu gerak, mengalun, berputar. Sengaja atau tidak, mayoritas garis-garisnya adalah lengkung berombak. Garis ini, lebih daripada garis lurus, menghubungkan objek-objek pada kanvas, menyatukannya, dan menuturkan suatu kisah.

Karya berjudul ‘Berburu Predator’ dan ‘Menangkap Predator’ adalah antara membunuh dan dibunuh guna mempertahankan hidup. Tapi sampai di manakah batasnya? Dalam ‘Menangkap Predator’, sebagian besar warga nelayan menggotong hasil buruan, ada yang besar, ada yang sedang. Namun lihatlah, langit bergolak, alam memprotes.

Nafas sosial Yos tercermin dalam lukisan ‘Adu Domba’, tampak komentar kritis Yos terhadap situasi adu domba yang mencirikan masyarakat kita dewasa ini. Demikian pula dalam lukisan ‘Silaturahmi’ yang menggambarkan ketegangan implisit di antara dua kelompok yang hendak bersilahturahmi. Ia mempersoalkan pula nasib rakyat kecil yang hidup dalam kondisi sengsara di negeri yang kaya lewat lukisan ‘Ilegal di Bumi Sendiri’ dan Mendulang Emas di Tumpang Pitu’.

Di samping ekspresi keprihatinan atas kondisi kebangsaan kita, lukisan-lukisan Yos juga memperlihatkan harapan. Inilah yang tergambar dalam seri lukisan berjudul ‘Arus Balik’ yang sekaligus menjadi tajuk pamerannya. Dengan mengacu pada roman sejarah karya Pramoedya Ananta Toer berjudul sama, Yos seperti mau menunjukkan kekuatan budaya maritim bangsa kita sebagai harapan masa depan. Pandangan ini bisa dibenarkan lewat sejarah.

Karya berjudul ‘Banyuwangi’, kita bisa melihatnya sebagai promosi Kota Banyuwangi: ada seni tari, mungkin inilah Gandrung Banyuwani; ada kepala macan putih, mengingatkan pada kesenian reyog. Juga, lukisan ini bisa dilihat sebagai cerita rakyat asal-usul nama Banyuwangi, sebuah kisah sederhana namun mengandung masalah yang pelik.

Ada potret Pramudya, sastrawan tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat yang di-Buru-kan tanpa pengadilan oleh penguasa kala itu, memegang rokok dan buku terbuka dengan tulisan tangan yang menghadap ke pelihat.

Ada wajah Menteri Susi Pudjiastuti yang populer dengan program meledakkan dan menenggelamkan kapal perampok lautan Indonesia- di latar belakang potret ada nyala merah di lautan. Ada wajah Joko Widodo, di mata kiri ada setetes air mata yang dianggap keprihatinannya sebagai presiden terhadap rakyat kebanyakan bukan untuk popularitas. Dan satu wajah anonim dengan latar belakang hitam pekat, judul karya ‘Geregetan’.