Laskar Bayaran

Oleh: Giatri (Editor) - 22 September 2017

Indonesia Kita menyuguhkan pertunjukan yang berbeda di produksi ke-25 nya. Bersama seniman asal Bali, lakon berjudul ‘Laskar Bayaran’ meneropong Indonesia hari ini dan masa depan.

‘Laskar Bayaran’ dipentaskan dengan menggunakan elemen wayang listrik karya I Made Sidia yang megah dan kaya ekspresi visual. Pentas ini juga diperkaya dengan musik yang ditata oleh Balawan, gitaris asal Bali yang dikenal memiliki “magic finger” serta Balawan Gamelan Fusion.

Rwa Bineda sebagai nilai keseimbangan dan keharmonisan dalam tradisi budaya Bali menjadi salah satu pesan utama yang disampaikan I Made Sidia sebagai dalang dalam pertunjukkan ‘Laskar Bayaran’.

"Rwa Bineda artinya masalah kehidupan dari sisi baik dan buruknya. Sehingga kita sebagai manusia bisa memilih dan memilah. Hal yang bisa kita terapkan untuk menyejahterakan orang banyak. Sehingga menjadi tuntunan,” tutur Sidia.

Keahlian mendalang Sidia ini secara genetik diterima dari sang ayah I Made Sidja dan diteruskan lagi ke cucu Bapak Sidja, I Kadek Sugi Sidiarta. Ketiga dalang inilah yang memainkan wayang listrik dalam lakon ‘Laskar Bayaran’.

Di tangan ketiga dalang ini, wayang menjelma menjadi pertunjukan imajinatif, progresif sekaligus menghibur tanpa meninggalkan nilai filosofis yang ingin disampaikannya.

 ‘Laskar Bayaran’ mengisahkan di suatu masa depan, tahun 2099, Bali telah menjadi pulau metropolitan. Sebagian besar wilayahnya dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit. Sudah tidak banyak lagi bule atau orang asing yang tinggal, hanya satu. "Bahkan kami pun para dhemit tersingkir,"begitu salah satu celetukan dhemit alas (hutan) Gandamayu (trio Clekontong Mas).

Meski begitu, di Bali suasana terasa harmoni. Budaya tari dan berbagai kesenian lain masih dilestarikan. Anak-anak, remaja bahkan orang tua pun masih mau belajar menari serta berbagai kesenian lain. Namun suasana keteraturan dan kenyamanan itu hasil karya korporasi global bernama “Paradize Capitol Corporation” yang rupanya menguasai semua hal dengan sangat tertib. 

Persoalan hidup sehari-hari, cinta, pikiran sampai kegiatan ritual, diatur secara ketat dan dikenai pajak oleh Paradize Capitol Corporation. Untuk menjaga ketertiban itu, Paradize Capitol Corporation membentuk Laskar Bayaran (dimainkan oleh Trio GAM - Gareng, Wisben, dan Joned), yang bertugas mengawasi dan mengontrol kehidupan rakyat.

‘Laskar Bayaran’ tak segan-segan, bahkan mengurus hal-hal seputar ritual keagamaan, hingga dunia roh-roh. Di negeri koloni itu, roh pun harus membayar pajak.

Di tengah kehidupan yang serba tertib itu, ada satu wilayah yang belum tertaklukkan oleh Paradize Capitol Corporation, sebuah daerah misterius dan gaib bernama Hutan Gandamayu, yang dihuni para roh leluhur.

Di hutan ini masih tersisa romantisme masa silam. Ada ekspatriat yang hidup damai di Hutan Gandamayu dan disebut sebagai The Last Bules (dimainkan oleh Jean Couteau). The Last Bules dijaga agar tidak punah. Sebab kepunahan berarti kehilangan asset turisme. Tanpa para The Bules, segala jenis ritual warisan leluhur tak akan pernah bisa diwariskan.

Hutan Gandamayu dianggap sebagai wilayah terlarang oleh Paradize Capitol Corporation, sebab hutan gaib itu digunakan rakyat sebagai tempat untuk melakukan perlawanan. Rezim Paradize Capitol Corporation menganggap mereka yang tinggal di Hutan Gandamayu sebagai para pemberontak. Laskar Bayaran digerakkan untuk menaklukkan para pemberontak itu.

Berbagai siasat dan intrik dijalankan untuk menghentikan perlawanan. Kejutan demi kejutan bermunculan, dan akhirnya membuka apa yang sebenarnya disembunyikan di balik siasat dan intrik. 

Bagi Putu FAjar Arcana yang menjadi tim kreatif pementasan ini bersama Butet Kartaredjasa, Agus Noor, juga Djaduk Ferianto, ‘Laskar Bayaran’ merupakan parodi sempurna atas realitas di sekitar kita.