Opera Ikan Asin, Tentang Bandit jadi Pahlawan

Oleh: Giatri (Editor) - 29 March 2017

Naskah: Giattri Fachbrilian Putri, Foto: Edwin Budiarso

Inilah lakon tentang era yang penuh ketidakjelasan. Raja Bandit dijadikan pahlawan oleh masyarakat. Para petinggi hukum bersahabat dengan para penjahat kakap, sogok menyogok adalah sebuah kewajaran. Hukum pun bisa disandera oleh pihak-pihak yang  berkepentingan pribadi. Jaman dimana titah penguasa tertinggi memutar balik keputusan pengadilan.

Opera Ikan Asin disadur Nano Riantiarno dari lakon The Beggar’s Opera karya John Gay dan musik J.C. Pepusch yang dipentaskan pada 1728 di London. Kemudian, diusung lagi lewat lakon Die Dreigroshenoper atau The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht dengan komposisi musik dari Kurt Weill dan dipentaskan pertama kali di Theater Schiffbauerdam, Berlin pada 1928.

Lakon ini mulanya menggambarkan peristiwa di London pada sekitar abad ke-19, yang kemudian diubah Nano berlatar Batavia abad ke-20, jaman Hindia Belanda.

Teater yang berdiri sejak 1 Maret 1977 ini pertama kali mementaskan lakon Opera Ikan Asin pada 30 Juli – 8 Agustus 1983 di Teater Tertutup Taman ismail Marzuki. Digelar lagi di tahun yang sama pada 20-21 Agustus di Graha Bhakti Budaya, TIM. Pada 1999, lakon ini kembali dipanggungkan di Graha Bhakti Budaya.

“Naskah ini ditampilkan sama seperti The Threepenny Opera. Menariknya, pementasakan kali ini, semua lagu yang berjumlah 23 dibawakan dan disuguhkan semirip mungkin dengan karya Kurt Weill,” ujar Sutradara  pementasan Opera Ikan Asin itu.

Opera Ikan Asin berkisah tentang Si Raja Bandit Batavia, Mekhit alias Mat Piso menikahi Poli Picum tanpa seijin Ayahnya, Natasasmita Picum, juragan pengemis se-Batavia. Picum mengancam Kartamarma, asisten kepala Polisi Batavia yang juga sahabat Mekhit, bahwa para pengemisnya akan mengacaukan upacara pengobatan Gubernur Jendral yang baru.

Terpaksa Mekhit ditangkap, ia akan digantung tepat saat upacara penobatan, tapi ketika tali menjerat leher, datang surat keputusan dari Gubernur Jendral. Isinya: Mekhit dibebaskan dari hukuman gantung. Malah, ia dianugerahi gaji dan jabatan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia-Belanda).

The Threepenny Opera memiliki kesamaan dengan situasi di sekitar kita pada saat ini, jelas Nano, masalah keadilan, ketidakadilan, masyarakat yang korup, kecurigaan, intrik dan suatu suasana yang membuat kita sulit membedakan antara kebenaran dan ketidakbenaran, di samping masalah yang tetap menjadi hal paling pokok: perut.

Lantas mengapa menjadi Opera Ikan Asin? Jawabannya bisa bermacam-macam, tutur Nano, satu yang ingin ia ingatkan adalah, apa yang ada dalam benak ketika mendengar kata ‘ikan asin’? begitu ragam ikan asin, ada yang mahal, ada pula yang murah. Tapi makanan itu begitu akrab dengan rakyat seluruh lapisan.

“Yang murahan bisa menjadi simbol dari kelas bawah, yang mahalan tentu sebaliknya. Dua kekuatan yang sering berbeda kepentingan, kuat jika dipersatukan, tapi bisa seperti minyak dan api. Bahwa sebetulnya orang kaya yang menyebabkan kemiskinan itu,” tandas Nano.

Produksi ke-147 Teater Koma ini menampilkan Budi Ros, Cornelia Agatha, Sari Madjid Prianggoro, Alex Fatahillah, Asmin Timbil, Raheli Dharmawan, Budi Suryadi, Daisy Lantang, Ratna Ully, Naomi Lumban Gaol, Suntea Sisca, Dana Hassan, Ariffano Marshall, Allen Guntara, Sir Ilham Jambak, Julung Ramadan, Bangkit Sanjaya, Bayu Dharmawan Saleh, Adri Prasetyo, Sekar Dewantari, Netta Kusumah Dewi, Joind Byuwinanda dan Rangga Riantiarno.

Para pemain dibalut dengan keindahan kostum dari Samuel Wattimena, koreografi Ratna Ully dan bimbingan vokal Naomi Lumban Gaol serta polesan tata rias  Sena Sukarya dan PAC Martha Tilaar. Lirik-lirik gubahan Nano disertai komposisi musik Kurt Weill dengan aransemen garapan Fero Aldiansya Stefanus semakin menghiasi lakon ini.

Tata artistik dan tata cahaya panggung digarap Taufan S. Chandranegara, didukung Pimpinan Panggung Sari Madjid Prianggoro, pengarah teknik Tinton Prianggoro serta pimpinan produksi Ratna Riantiarno, di bawah arahan co-sutradara Ohan Adiputra dan Sutradara N. Riantiarno.

Pementasan yang didukung Djarum Bakti Budaya Foundation ini dihelat di Ciputra Artpreneur, Lotte Shopping Avenue pada Maret 2017.