Opera Kecoa Cermin Realitas Kehidupan

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 23 December 2016

Penulis dan Sutradara Teater Koma Nano Riantiarno berhasil mengemas humor, sindiran, dan realitas sekaligus dalam ‘Opera Kecoa’. Bagaimanapun juga, Opera Kecoa merupakan cermin realitas kehidupan Indonesia, terutama di Jakarta. Segala ironi yang ada dalam Opera Kecoa memang benar-benar ada di negeri kita.

 

Konflik utama dalam drama ini adalah pergulatan orang-orang “terbuang” untuk bertahan hidup dan memperjuangkan nasib mereka. Akan tetapi, mereka seakan-akan sudah digariskan untuk selalu kalah. Orang-orang yang berkuasa pada akhirnya selalu mengalahkan mereka—membakar kawasan kumuh.


Ketika akhirnya kedua pihak tersebut sudah siap berperang, Roima menghimbau orang-orang “terbuang” untuk kembali ke tempat asal mereka. Maka kembalilah mereka ke dalam got—tempat yang sudah seharusnya.


Nano melakonkan perjuangan seorang bandit kelas teri, Roima, yang sedang berada di persimpangan jalan. Dia tertarik kepada Tuminah, seorang Pekerja Seks Komersial yang sudah punya pacar seorang waria bernama Julini. Meskipun hidupnya susah, Julini pantang meminta-minta. Dengan caranya sendiri, ia berjuang untuk memperbaiki nasibnya. Cintanya yang teramat besar pada Roima membuatnya rela bekerja membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua dan membelikan barang-barang bagus untuk Roima. Ia merasa tidak berdaya pada kenyataan bahwa ia tidak akan bisa mempunyai anak dari Roima.