Papermoon Puppet

Oleh: Giatri (Editor) - 18 July 2016

Naskah : Giattri Fachbrilian, Foto: istimewa

Yang membuat karya-karya Papermoon Puppet begitu kuat adalah kisahnya yang selalu orisinal dan personal. Kita yang menonton bisa ikut merasakan apa yang dirasakan para boneka.

Papermoon Puppet dikemas secara ringan dalam pertunjukan boneka, namun mengusung tema-tema yang serius. Misalnya,penindasan, kekejaman, dan ketidakadilan, seperti mengambil latar tahun 1965 dimana di Indonesia terjadi tragedy G30SPKI dan kisah suram pada masa Orde Baru.

Meski kerap dikecam karena cerita yang dibawakan dinilai provokatif dan ada berbau konspirasi, Papermoonpuppet mendapat banyak apresiasi dari Negara lain.

Mulanya, Papermoon Puppet merupakan sebuah sanggar yang dilengkapi perpustakaan untuk anak-anak yang didirikan pada 2006 oleh Maria Tri Sulistyani atau lebih dikenal sebagai Ria ‘Papermoon’. Tiap sore, anak-anak datang untuk membaca, belajar, dan membuat boneka di tempat tersebut. Mereka juga sering menggelar pertunjukan boneka untuk anak-anak.

Seiring berjalannya waktu, Ria dan sang suami Iwan Effendi, mengubah komunitas kecil ini menjadi sebuah theater company. Segmentasinya pun berubah untuk kalangan dewasa, dengan jalan cerita yang cukup serius dan membawakan isu-isu yang lebih berat.

Berbeda dengan pertunjukan wayang kulit atau wayang golek yang ‘dihidupkan’ oleh seorang dalang melalui gerakan dan suara, di atas panggung satu karakter boneka Papermoon digerakkan satu hingga tiga orang. Kehadiran boneka di tengah panggung ini didukung oleh tata pencahayaan, musik, dan busana yang sesuai dengan cerita yang diangkat. Tak berbeda dengan pentas teater pada umumnya.

Kisahnya disampaikan melalui gerakan-gerakan boneka yang luwes dan simbol-simbol yang ditampilkan di atas panggung. Begitu hidup dan memukau, penonton merasa seperti tak menonton pentas boneka, melainkan teater sungguhan. Hebatnya, gerakan boneka bisa dibuat sedemikian mirip dengan gerakan manusia. Setiap sosok boneka menunjukkan hasil sebuah karya seni tingkat tinggi.

“Noda Lelaki di Dada Mona” adalah debut karya Papermoon yang ditujukan untuk kalangan dewasa. Berkisah tentang seorang gadis bernama Mona, pemilik laundry pakaian yang jatuh cinta kepada seorang pelanggannya. Gadis yatim piatu itu, diasuk oleh seorang pensiunan tentara di masa 30 September 1965. Pertunjukan yang diperuntukkan untuk usia 18+, hanya dalam beberapa jam, tiketnya ludes terjual.

“Mau Apa?” merupakan pentas yang dilakukan dalam bentuk interaktif, dimana melibatkan para penonton untuk turut ambil peran dalam pentas tersebut. Penonton bebas memilih tema apa yang akan dibawakan mulai dari cinta, kekuatan, kesehatan, kehidupan, uang, hingga pergi ke Mekkah.

Di pentas “Mau Apa?”, Papermoon berkolaborasi dengan dengan Anna Loewendahl (Director of Transvition Art, Australia). Pentas ini dihelat di beberapa tempat yang berbeda, yakni pasar tradisional, pasar Minggu UGM, hingga New York.

Sekalipun kisah yang disampaikan cukup berat atau kelam, salah satu karyanya “Mwathrika”yang bercerita tentang korban politik pasca September 1965. Dikemas dalam pertunjukan imajinatif dengan teknik berkisah yang bagus, hasilnya adalah sebuah penampilan yang menguras emosi. Dalam membuat karya berlatar belakang sejarah ini, Ria memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk riset mendalam.

“Kami bertanya pada pelaku sejarah tentang peristiwa yang mereka alami saat itu. Memang banyak buku yang menceritakan tragedi 1965, tapi sedikit yang bisa menggambarkan perasaan mereka. Seperti cerita seorang narasumber yang saat itu masih berusia 12 tahun. Ia terpaksa mengasuh adik-adiknya sendiri setelah ayahnya ditangkap pemerintah—dan baru kembali setelah 13 tahun. Sebagai anak tanpa orangtua, tidak ada satu orang pun di kampungnya yang berani menolong, karena mereka takut akan di tangkap tentara. Sampai-sampai untuk makan, Ia harus menangkap kodok di sawah,” tutur ibu dari Lunang Pramusesa itu.

Menariknya, ide-ide Ria yang dituangkan dalam teater bonekanya lahir dari kehidupan sehari-hari. Inspirasinya banyak datang dari cerita tentang kehidupan orang-orang dan juga barang-barang tua. Wanita berambut ikal ini memang begitu menyukai barang-barang usang. Ia dengan senang hati menyusuri bangunan-bangunan tua hingga pasar-pasar loak di Yogyakarta maupun di kota lainnya. Bagi Ria, sesuatu yang usang menyimpan banyak kisah yang menarik untuk diceritakan lagi.

Hal ini dibuktikan dengan karyanya yang dibuat tahun 2011, “Secangkir Kopi dari Playa” yang berlatar belakang toko barang antik di tahun 1965. Diangkat dari kejadiaan sebenarnya, “Secangkir Kopi dari Playa” berkisah mengenai seorang pria yang menyimpan janjinya untuk tidak menikahi siapapun, kecuali dengan kekasih masa lampaunya ketika dia tak bisa pulang dan sampai saat ini hidup di Cuba. Pentas ini pula yang dipertunjukan dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2.

Meski menampilkan cerita untuk penonton dewasa, Papermoon tidak menepiskan sisi komedi. Naskah “Lunang, Laki-Laki Laut” yang dipentaskan di ArtJOG 2013 lalu misalnya, Ria menggarapnya dengan banyak melibatkan unsur kontemporer. Dari tarian, musik yang ringan, dan karakter lucu yang mengundang tawa.

“Laki-Laki Laut” menampilkan kumpulan cerita penjelajah laut dari berbagai negara yang berusaha menemukan nusantara. Proses riset untuk “Laki-Laki Laut” ini, Ria lakukan di daerah Lasem dan Rembang karena di abad ke-15 daerah tersebut adalah bandar yang ramai dan sukses disinggahi pelayar mancanegara. Namun saat ini daerah tersebut terbengkalai, jauh dari kesuksesan pada zaman dahulu.

Teater boneka kontemporer dipilihnya bukan tanpa alasan. Menurutnya orang cenderung lebih mudah menerima, ketika pesan yang disampaikan dilakukan lewat teater boneka. Bisa jadi karena boneka mengesankan sebagai objek yang menghibur, sehingga membuat audiens rileks saat menontonnya.

Sepuluh tahun sejak berdirinya, sudah banyak coretan yang dituliskan oleh Papermoon Puppet Theatre. Digawangi Ria sebagai artistic director dan Iwan sebagai penata artistik, teater yang berbasis di Yogyakarta ini tidak hanya mempertunjukkan karyanya di depan publik dalam negeri. Justru pertunjukan ini lebih banyak memboyong Papermoon ke banyak Negara, seperti Malaysia, Korea, India, Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris.

Bahkan pada akhir tahun 2015, selama tiga bulan, Ria dan Iwan diundang khusus oleh University of New Hampshire untuk mengajar teater boneka kepada mahasiswanya. Tidak hanya filosofi tentang teater boneka, mereka juga mengajarkan cara membuat boneka-boneka yang biasa digunakan Papermoon Puppet Theatre. Pada akhir program, bersama para mahasiswa jurusan teater dan tari, mereka sukses melakukan pementasan.

Teranyar, 2016 ini, Papermoon Puppet mementaskan “The Old Man’s Books” dalam ajang “Bangkok International Children's Theatre Festival (BICT Fest) 2016”, Bangkok Art and Culture Center.