A Rare Conversation: Sapardi X Jokpin

Oleh: Giatri (Editor) - 06 June 2016

Naskah : Giattri FachbrilianPutri

Foto     : Dok. ALF 2016

Sebuah peristiwa langka terjadi dalam perhelatan Asean Literary Festival (ALF) hari ke-2. Dalam acara itu, dua  penyair besar Indonesia Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo (Jokpin) terlibat dalam sebuah percakapan hangat dengan tajuk “A Rare Conversation: Sapardi X Jokpin.

Dipandu presenter kawakan Najwa Shihab, Sapardi dan Jokpin membahas berbagai macam tema, mulai dari inspirasi berkarya, perkembangan sastra di Indonesia hingga isu-isu terhangat Indonesia hari ini.

Riuhan tepuk tangan dari ratusan penonton mengisi ruang Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), 6 Mei lalu. Dimulai sekitar pukul 19:30 WIB, seluruh penonton sudah menempati seluruh tempat duduk yang kosong, disambut dengan penampilan Duo Ari-Reda. Setelah itu, Najwa langsung memulai percakapan hangat mewakili penonton kepada dua pujangga tanah air tersebut.

“Apa yang belum banyak publik tahu tentang Prof Sapardi?” tanya Najwa kepada Sapardi seraya tersenyum.

Sapardi menjawab dirinya adalah “eyang mal”. Ia sering berjalan-jalan di Pondok Indah Mall yang terletak dekat rumahnya karena dokter menganjurkannya untuk banyak jalan. Malas terkena cuaca panas dan debu, tentu saja jalan di mal jadi pilihan tepat, mengingat Sapardi selalu tampil necis dengan jas dan topi seniman.

Kontan penonton pun tertawa, melekat ucapan humoris dari Sastrawan orde lama itu. Sapardi Joko Damono lahir di Surakarta, 20 Maret 1940, ia seorang pujangga yang dikenal melalui berbagai puisi-puisinya yang sering menggunakan kata-kata sederhana, karyanya populer diantaranya berjudul “Hujan Bulan Juni” dan “Aku Ingin”.

Puisi yang kerap dijadikan kutipan dalam undangan pernikahan maupun digunakan untuk merayu orang ini ternyata dibuat hanya dalam waktu kurang dari 30 menit saja. Penyair rendah hati ini menganggap puisi-puisinya dikenal banyak orang karena telah dinyanyikan dengan sangat indah oleh duo vokal AriReda.

Pertanyaan senada dilontarkan kepada Jokpin.

“Saya ini suka kopi. Di nama saya pun ada “kopi”-nya. Joko Pinurbo. Kopinya pakai gula sedikit saja,” jawab Jokpin.

Joko Pinurbo merupakan sastrawan orde baru asal Sukabumi yang lahir pada 11 Mei 1962, ia aktif menulis puisi sejak usia 20-an, puisinya kerap mencampur antara realitas dengan impian yang merupakan perpaduan antara naratif, ironi refleksi diri dan kadang mengandung unsur “kenakalan”.

Jokpin, menerbitkan buku puisi pertamanya di umur 30-an. Ia sempat menghabiskan waktu membaca puisi-puisi para penyair lain dan mencari celah, tema apa yang belum pernah mereka garap. Dari situ terciptalah puisi tentang celana, kamar mandi, jemuran, dan seterusnya.

Beberapa dari kita pasti juga sudah pernah mendengar kalau Jokpin sedang asyik-asyiknya menggarap puisi bertema Bahasa Indonesia. Salah satunya berjudul “Kamus Kecil" sudah banyak beredar di media massa dan dunia maya, mengingatkan kita akan betapa menariknya Bahasa Indonesia, terlebih ketika mendengar langsung sang penyair membawakan puisinya.

Lanjut dalam acara tersebut, Najwa meminta Jokpin untuk menjelaskan seperti apa sosok Sapardi.

“Pak Sapardi yah? Sosoknya ada di sebelah kiri. Kiri ini sangat sensitif. Padahal saya pernah berbincang-bincang dengan almarhum Romo Yudi Mangun Wijaya, tentang kata “kiri”. Perlu saya jelaskan. Beliau kan merintis pendidikan eksperimental untuk anak-anak SD. Salah satu yang beliau tekankan dengan para guru yang mengajar anak-anak miskin itu harus diajari untuk berpikir. Ngiwa, itu bahasa Jawa. Artinya menyimpang dari jalan yang lazim. Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia secara bebas artinya belok kiri. Tapi kan kata kiri ini jadi sangat sensitif. Padahal kalau kita di kanan terus sumpek kan, yah. Sekali-kali perlu menengok ke kiri supaya kita lebih kreatif,”Jawab Jokpin.

Di atas panggung Asean Literary Festival 2016, Sapardi dengan gaya bicara yang nyeleneh ternyata bisa tampil sangat humoris ketika dihadapkan dengan Jokpin yang cenderung blak-blakan. Dipandu oleh Najwa sebagai moderator, keduanya pun saling melemparkan guyonan ala Jawa Tengah saat menanggapi banyak pertanyaan yang diajukan Najwa.

Lantas bagaiamana keduanya menemukan inspirasi dalam mencipta berbagai karya yang indah?

Sapardi menjawab, “Inspirasi kok dicari?”

Baginya, inspirasi bisa datang dari mana saja dalam kehidupan sehari-hari. Yang terpenting adalah jangan terhanyut dalam emosi ketika kita sedang berkarya. Baik Sapardi maupun Jokpin setuju, seseorang sebaiknya menulis ketika ia sudah bisa membuat jarak dengan emosi yang ingin ditumpahkan.

“Kalau mau marah-marah, demo saja, jangan menulis,” tandas Sapardi yang mengaku ia sebenarnya bukan penyair cinta.