Reborn, dari Titik Nol yang Sama

Oleh: Giatri (Editor) - 18 May 2016

Naskah : Gyattri Fachbrilian, Foto : Tanto

Gagasan awal pameran bertajuk International Art Exhibition “Reborn” berakar dari titik nol yang sama. Ide gagas yang dibatasi ruang dan waktu telah terjalin diskusi dan perdebatan positif yang menemukan kesadaran akan sensasi idealis murni, dan kompleksitas pendapat menjadi motivasi dan aspirasi dalam wujud karya. Seperti sebuah benang kemudian menata dan merajut agar menjadi sesuatu yang berharga.

Sejatinya pameran ini terjadi dari bincang-bincang kecil para seniman yang tinggal di Bandung, lalu mendapat respon dari perupa Jakarta, Yogyakarta, Malaysia, Amerika Serikat, Belanda dan Swiss. Mereka berembuk dan sepakat untuk turut mewarnai perkembangan seni dunia, dengan kepekaan jiwa terhadap isu global yang terjadi terhadap manusia dan lingkungan.

“Konsep pergerakan seni rupa ini berangkat titik nol yang sama berarti mereka pernah belajar dan terdidik dalam satu wadah kawah candradimuka yakni padepokan yang bernama Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI/SMSR) Yogyakarta,” ujar Ketua Pameran Warli Haryana.

Tujuan pameran ini ditandai dengan kelahiran semangat baru, terjadinya kolaborasi antara perupa pendahulu dan generasi sekarang baik di tingkat nasional maupun internasional.

International Art Exhibition ‘Reborn’ yang diselenggarakan IKASSRI Jawa Barat dan didukung Galeri Nasional Indonesia pada bulan April, diikuti 23 perupa yang merupakan lulusan SSRI Yogyakarta.

Hanya satu peserta yang bukan lulusan SSRI Yogyakarta, yaitu Sonic Bad, seorang ikon seniman grafiti ‘street artist’ dari Amerika Serikat. Namun, partisipasinya justru membuat pameran ini menjadi lebih menarik karena karya seni graffiti yang disuguhkannya mampu menambahkan warna tersendiri.

Selain grafiti, karya yang dipamerkan dalam perhelatan ini sebagian besar merupakan karya seni lukis, dan ada beberapa karya seni patung, lukisan keramik, dan karya lukisan ‘hybrid’ dalam arti kata gabungan antara manual dan digital.

Sekitar 113 karya tersebut memiliki ciri khas tersndiri berdasarkan penalaran dan rasa estetisnya dalam mengungkapkan sebuah ekspresi jiwa sesuai dengan pemahaman budaya dimana para perupa tinggal.

Karya-karya yang dipamerkan cukup kompleks, begitupun tema yang yang diangkat seperti falsafah dan budaya nasional yaitu wayuang, nuansa alam, figuratif, isu-isu sensitif saat ini seperti human trafficking, perkawinan sejenis (LGBT), bedah plastik, dan lainnya.

‘Akar’ karya Muchsin MD berkisah tentang terjadinya hidup. Baginya, entah itu tumbuhan atau manusia ada kemiripan. Ia melukis menggunakan arang dan pensil karena keduanya terbuat dari alam. Pada karyanya juga terdapat kertas yang ia daur ulang sendiri.