Semar Gugat: Menunggu Pesta

Oleh: Giatri (Editor) - 04 April 2016

Naskah: Giattri, Foto: Dok. Teater Koma

 

Teater Koma kembali mementaskan “Semar Gugat”.Meski naskahnya ditulis 21 tahun yang lalu, gugatan terhadap korupsi dan monopoli, yang menjadi roh lakon ini, tetap relevan dengan kondisi terkini.

“Korupsi dan monopoli, masih tetap terjadi. Yang paling aneh, keadaan politik tidak berubah. Yang salah siapa, rakyat atau pemerintah? Saya melihat, ini penting untuk diberi tahu,” tandas Sutradara Nano Riantiarno.

Naskah “Semar Gugat” ditulis dan dipentaskan Teater Koma pertama kali pada 25 November 1995. Berkat Semar Gugat, Nano diganjar penghargaan South East Asia Writers pada 1998 di Thailand.

Nano berharap lakon ini menjadi sarana untuk menyampaikan kritik sosial, dengan kemasan yang kreatif. “Penonton yang hadir memahami pesan moral yang kami sampaikan dalam lakon ini," ucap Nano.

Nano menjelaskan Semar merupakan sosok yang tak habis-habisnya digali dan dicari. Tokoh sentral Punakawan dalam dunia perwayangan itu terus ditafsir dan diselidiki. Ada yang menganggap sudah ketemu, lalu berusaha membakukannya.

"Tapi ada juga yang berpendapat, jangankan memperoleh penjelasan baku tentang karakter Semar, bersentuhan dengan auranya pun tidak ada yang sanggup," bebernya.

Semar ala Teater Koma tentunya berbeda dengan Semar lainnya. Bisa jadi ia Semar sejati, tapi mungkin juga bukan. "Semar Teater Koma adalah Semar yang terluka, terhina, dan papa. Sosok yang merasa kuncung rambutnya dicukur berkali-kali," ujar Nano.

Singkat kata, Semar Teater Koma senantiasa bertanya-tanya, "Kapan lakon konyol yang sedang dijalani akan berakhir? Sampai kapan setan-setan yang dimanifestasikan dalam sosok Permoni terus berpesta?"

"Semar Gugat" yang dipentaskan Teater Koma merupakan lakon carangan yang idenya dihimpun dari lakon "Semar Minta Bagus", "Semar Hanjatur", "Semar Papa", dan "Srikandi Maguru Manah" gubahan KGPAA Mangkunegoro VII. Di samping itu, "Petruk Dados Ratu" dan lakon-lakon tentang Permoni juga turut menjadi sumber inspirasi yang memperkaya "Semar Gugat".

“Tapi sering ada tuduhan ‘lakonnya tidak sesuai pakem’. Hal itu sesungguhnya tidak masuk akal,” ujar Nano. Sebab yang disebut ‘pakem’, tentu lakon Mahabharata yang datangnya dari India. Tokoh Semar beserta anak istrinya tidak pernah ditemukan dalam versi India itu. Sosok Semar murni hasil karya cipta nenek moyang Indonesia pada masa lalu.

Jadi, tradisi menggubah dan menciptakan carangan itu sudah dilakukan sejak dulu kala. “Hal itu pula yang dilakukan Teater Koma saat berusaha menyajikan ‘Semar Gugat’ dengan mengawinkan gaya panggung ludruk, Srimulat, dan wayang," jelasnya.

“Semar Gugat” berkisah mengenai kehebohan yang tengah terjadi di Kerajaan Amarta. Ketika Srikandi yang dikuasai raganya oleh Betari Permoni meminta sebuah mas kawin yang tak lazim kepada Arjuna yang menjadi calon suaminya. Arjuna harus bersedia memotong kuncung Semar pada saat pesta pernikahan dilaksanakan.

Arjuna yang terlanjur mengucap janji pun dengan berat hati memenuhi keinginan Srikandi tersebut. Akibatnya fatal, Semar yang merasa dilecehkan pun harus menanggung malu atas penghinaan yang dilakukan Arjuna tersebut.

Dengan membawa amarahnya, Semar pergi ke khayangan ditemani oleh Bagong untuk menemui Batara Guru. Tujuannya tak lain untuk meminta dikembalikannya paras tampan nan rupawan yang pernah dimiliki Semar. Tak ada yang berani menolak permintaan Semar meskipun hal tersebut bertentangan dengan irama alam.