Rendering Regime

Oleh: Giatri (Editor) - 22 January 2016

Naskah: Gia

Tiga puluh seniman memamerkan hasil karyanya dalam Pameran Besar Seni Lukis Jakarta beberapa waktu lalu dengan membawa tema Rendering Regime, mereka menentukan sikap politiknya dalam sebuah karya.

Rendering regime, menurut Kurator Leonhard Bartolomeus dapat diartikan sebuah usaha manipulatif dari pihak yang berkuasa dengan cara memperindah dan mengaburkan segala hal melalui pendekatan visual. 

“Karenanya, tema ini hadir untuk merangkum pembacaan atas karya-karya seni lukis di Jakarta yang menjadi cerminan sikap dan pernyataan politis seniman terhadap kondisi lingkungan sosialnya,” ujarnya pria yang akrab disapa Barto itu.

Di satu sisi, tema tersebut mengupayakan ‘rendering‘ atau penciptaan visual, gagasan artistik, dan struktur yang dilakukan seniman. Sementara, ‘regime‘ dapat dibaca sebagai aturan, sistem, atau kondisi yang muncul dalam proses penciptaan.

“Melalui tema ini, kami mencoba melihat apa yang tengah dibicarakan seniman masa kini. Sementara, dalam konteks artistik, istilah ini dapat dimaknai upaya pelukis menciptakan karya. Pelukis, sebagai pemegang kekuasaan, memiliki kemampuan untuk melakukan manipulasi atas bentuk, ruang, warna, dan garis,” kata Barto.

Sifat lukisan sebagai alat komunikasi dan dokumentasi lahir dari kenyataan seni lukis seringkali menjadi media propaganda populer yang dipengaruhi banyak banyak hal, salah satunya politik di lingkungan sekitar.

Barto mengungkapkan, tidak mudah untuk mengumpulkan berbagai pelukis. Itu diakuinya yang sempat mengundang 50 pelukis, namun yang bersedia hanya 30 orang. Mereka dipilih dari beragam gaya, usia, dan latar belakang.

Mulai dari Andrew Delano, Guntur Wibowo, Haris Purnomo, Hauritsa, Henry Foundation, Ipong Purnomo Sidhi, Jimi Multhazam, Kemalreza Gibran, KP Hardi Danuwijoyo, Monica Hapsari, hingga Tatang Ramadhan Bouqie.

Lantas bagaimana sikap dan pernyataan politis para seniman tersebut dituangkan ke atas kanvas?

Guntur Wibowo dengan karyanya, Mural, memilih untukmenampilkan kondisi politik dalam simbol-simbol fauna yang kerap dibahas dalam media massa, seperti cicak, buaya, tikus, harimau, dan beo.