Search:
Email:     Password:        
 





Meet The Minimalist Miskin Harta Kaya Batin

By content (Administrator) - 07 May 2013 | telah dibaca 5660 kali

Naskah  : Andi Nursaiful/berbagai sumber Foto: Istimewa

Untuk ukuran kesejahteraan hidup masyarakat di lingkungannya, orang-orang di bawah ini bisa dikategorikan miskin harta. Bukan lantaran tidak mampu untuk membeli, namun mereka adalah penganut paham minimalism, yang terwujud dalam segenap aspek gaya hidup. Paham ini menolak kepemilikan harta yang melebihi kebutuhan dasar. Pelan namun pasti, mereka mulai mengurangi harta benda miliknya, dan hidup ‘miskin’ namun kaya batin.

Minimalisme atau paham minimalis, berbeda dengan aliran minimalis dalam dunia arsitektur, maupun gaya dan konsep simplicity dalam karya seni, ataupun jargon less is more milik arsitek ternama Jerman, Mies van der Rohe.

The Minimalist adalah orang-orang yang memilih gaya hidup sangat sederhana, menyingkirkan benda-benda yang tidak fungsional, dan membatasi membeli benda yang tidak terlalu dibutuhkan. Tujuannya, demi mencapai kepuasan hidup yang tak terbelenggu oleh keinginan untuk memiliki sesuatu. Bagi mereka, keinginan tak akan pernah habis. Satu-satunya cara menghentikan kekcauan dalam hidup, adalah dengan menghentikan keinginan.

Dalam bentuk ektremnya, gaya hidup mereka bahkan sangat minimalis untuk ukuran dunia modern yang kita kenal. Sampai-sampai jumlah follow di akun twitter dan friends di facebook, juga dikurangi dan hanya mempertahankan follow dan friends yang dianggap benar-benar bermanfaat.

Konsep dan paham gaya hidup minimalis, rapi, simpel atau uncluttered life (tidak berantakan) menitikberatkan pada sisi fungsional. Segala hal yang tidak fungsional harus disingkirkan. Segala hal yang mengundang kerepotan, menguras energi dan waktu, harus dienyahkan. Pada akhirnya, segala keinginan yang tadinya membelenggu, pun musnah.

Tokoh minimalist yang cukup populer saat ini adalah dua serangkai Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus. Mereka dianggap sebagai contoh teladan yang mampu menerapkan prinsip minimalisme dengan lebih fokus pada sesuatu yang penting dalam hidup. Joshua dan Ryan mengklaim hanya memiliki 288 benda milik.

Menginjak usia ke-30, keduanya menyadari bahwa bekerja selama 70-80 jam dalam seminggu untuk mendapatkan gaji untuk membeli segala keperluan, ternyata tidak membuat mereka bahagia menjalani hidup. “Gaya hidup kami sebelumnya malah dipenuhi hutang, stres, keletihan, ketakutan, dan kesepian,” ujar mereka.

Mereka lantas memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaan tetap, dan memilih mengendalikan hidup mereka sendiri, melalui paham minimalisme yang lebih fokus pada sesuatu yang dianggap lebih penting dalam kehidupan. Sejak itu, mereka menulis ratusan artikel di dunia maya dan mengampanyekan agar masyarakat membebaskan diri dari kepemilikan. 

Tulisan-tulisan mereka dibaca oleh sedikitnya 100 ribu pembaca dalam sebulan. Mereka juga sudah tampil di berbagai stasiun televisi dan media cetak terkemuka dunia, seperti, CBS, ABC, NBC, NPR, Wall Street Journal, Elle, New York Times, USA Today, Forbes, dan Zen Habits.

Paham ini muncul dari pengalaman betapa manusia modern cenderung membeli dan menumpuk benda-benda yang dianggap bermanfaat, hingga suatu ketika tempat tinggalnya sudah dipenuhi begitu banyak benda.

Tren gaya hidup minimalis dengan cepat berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Para penganutnya bukan orang-orang miskin secara ekonomi, pengangguran yang kesulitan untuk bekerja, atau kaum hippies yang senang hidup berpindah dan tidur di tenda.

Sebaliknya, mereka adalah kaum terpelajar, pada dasarnya memiliki kemampuan ekonomi dan intelektual untuk mencari nafkah, namun secara sadar memilih gaya hidup minimalis dan menolak kepemilikan barang yang tak penting di mata mereka.

Dave Bruno, seorang penulis dan entrepreneur, adalah contoh lain seorang minimalist yang “sukses” tak memiliki harta benda. Bruno adalah penulis buku "The 100 Thing Challenge,"  yang mengungkapkan pengalaman hidup dari seorang konsumeris menjadi seorang minimalis.

Dalam bukunya, ia menceritakan betapa ia merasa selalu dipaksa untuk membeli sesuatu benda, yang sesungguhnya tidak bermanfaat untuk hidup. Pada suatu ketika, ia menyadari keadaannya dan mulai menyingkirkan semua harta bendanya secara radikal.

Ia menyebutnya, "Cara jitu untuk berhenti berpartisipasi dalam konsumerisme yang tidak bertanggug jawab, dan mulai menjali kehidupan dengan cara yang lebih berarti, lebih aman secara ekonomi, sekaligus memberi sumbangsih bagi orang lain.”

“Gaya hidup konsumerisme yang tidak bertanggung jawab” seperti kata Bruno, bukan saja mampu membebaskan para penganut minimalis dari dorongan memiliki benda yang tak penting, namun juga dapat dimaknai sebagai gaya hidup hijau dan ramah lingkungan.

Bagi mereka, memilih produk dan peralatan berteknologi yang dirancang ramah lingkungan, akan terlalu mahal dan justru akan membuat bangkrut. Gaya hidup hijau, bagi mereka, adalah melakukan pengiritan dan menghentikan membeli produk yang tidak penting. termasuk mengurangi penggunakan sumber energi dengan memilih sepeda sebagai alat transportasi.

Contoh ekstrem gaya hidup minimalis juga diperlihatkan oleh seorang nenek kepala tujuh bernama Heidemarie Schwermer. Selama 16 tahun terakhir, mantan guru sekolah dan psikoterapis ini hidup tanpa uang sepeser pun.

Sebelumnya, ia memiliki sebuah toko barter yang sukses, namun pada 1996, ia berhenti bekerja sebagai guru dan psikotrapis lalu menyumbangkan semua harta benda miliknya ke orang lain yang membutuhkan. Berbekal sebuah koper dan sebuah tas ransel berisi pakaian dan keperluan mendasar, Schwermer pun meninggalkan rumah kontrakannya.

Sejak itu, ia hidup secara nomaden. Ia memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, dengan membersihkan kebun atau memberikan sesi terapi, dengan upah makan dan menginap semalam. Schwermer kemudian menulis sejumlah buku yang mengisahkan petualangannya sbagai seorang minimalis. Hasil penjualan bukunya, lagi-lagi tak ia nikmati melainkan disumbangkan ke badan amal.

Andrew Hyde, seorang penulis buku-buku perjalanan, juga banyak disebut-sebut sebagai minimalis sukses. Awalnya, ia memiliki tiga perusahaan yang bergerak di bidang perjalanan wisata. Tahun lalu, ia mulai menganut gaya hidup minimalis, dan mengklaim hanya memiliki 15 benda, tak termasuk pakaian dalam.

Begitu juga dengan Adam Baker, yang melakoni hidup minimalis bersama istrinya, Courtney, dan putri mereka. Pada tahun 2008, pendiri ManvsDebt.com, ini, memutuskan menjual semua harta miliknya, melunasi utang-utang sebesar USD18,000, lalu berkeliling dunia hanya dengan dua ransel berisi kebutuhan dasar. Selama satu tahun, keluarga Baker menjelajahi Thailand, Australia, hingga Selandia Baru.

Pada 2009, keluarga ini mulai menulis buku berisi kisah perjalanan mereka, dan mendirikan ManvsDebt.com. Mereka kini giat membantu orang-orang yang mau mengikuti jejak gaya hidup mereka. Mereka juga menerbitkan dokumenter berjudul “"I'm Fine, Thanks," berisi kisah kehidupan dan pilihan-pilihan tepat yang dibuat dalam hidup.

Selebriti dunia Jamie Lee Curtis kini juga diketahui tengah gandrung dengan gaya hidup simpel atau uncluttered ini. Artis papan atas Hollywood itu memutuskan untuk tidak lagi memakai make up, tidak lagi mengecat rambutnya, dan tidak lagi melakukan diet ketat yang merepotkan.

Ia pun mengurangi koleksi pakaiannya. Dalam setahun Lee Curtis hanya membeli 3-4 potong pakaian. Pilihan warnanya juga terbatas putih atau hitam, yang pemakaiannya dirotasi untuk setiap acara yang dihadirinya. Celana jeansnya kini cuma satu, dan seluruh perhiasannya disumbangkan ke orang lain karena ia tidak lagi menggunakannnya.

Gaya hidup minimalis ini rupanya juga sudah sampai di Tanah Air. Sekali lagi, bukan hidup sederhana ala penduduk desa-desa terpencil di pelosok Nusantara, melainkan orang-orang berpendidikan dan berkecukupan yang memilih untuk hidup sederhana dan tidak berantakan. 

Di Indonesia, beberapa nama yang dianggap sebagai pelopor gaya hidup minimalis adalah Roni Yuzirman dan seorang blogger yang menyebut dirinya Mbah Jiwo. Roni Yuzirman adalah seorang pengusaha busana muslim, dan dikenal sebagai pendiri komunitas bisnis “Komunitas Tangan Di atas.”

Roni sudah sejak lama mempraktikkan gaya hidup minimalis, dengan tidak menggunakan smartphone/BB, ke kantor terkadang mengendarai sepeda, atau angkutan umum. Ia hanya menyisakan sedikit pakaian di lemarinya, mengurangi menonton televisi, jejaring sosial, dan aneka riuh gemuruh dunia modern.

Roni sendiri mengaku berguru kepada Leo Babauta, orang yang dianggap pelopor awal gaya hidup minimalis. Kedua blognya, zenhabits.net dan mnmlist.com (keduanya berbahasa Inggris), dipenuhi artikel tentang gaya hidup minimalis.

Leo menulis, “Zen Habits mencoba menemukan kesederhanaan dari kekacauan hidup keseharian kita, Yaitu membersihkan semua hal yang berantakan, agar kita bisa fokus kepada hal-hal yang lebih penting, menciptakan sesuatu yang mengagumkan, dan menemukan kebahagiaan.” 

Zenhabits,net, kini berada dalam daftar Top 25 blog dan daftar Top 50 situs di dunia, dengan subscriber mencapai 260 ribu dan lebih dari sejuta pembaca. Selain berisi tulisan tentang paham minimalisme, kedua blog itu juga memuat artikel tentang kesehatan dan kebugaran, motivasi dan inspirasi, penghematan, hingga kehidupan keluarga.

Dalam tulisan-tulisannya, Leo menyarankan pembacanya untuk berperan dalam menjaga lingkungan dengan beberapa cara yang bisa ditempuh, seperti, berjalan kaki, bersepeda, naik kendaraan umum, bekerja di rumah, atau bekerja di kantor yang dekat dengan rumah guna mengurangi pemanasan global.

Kalau pun harus menggunakan kendaraan pribadi, disarankan yang mengkonsumsi bahan bakar seminimal mungkin. Bahkan ia sudah mempraktikkan konsep car sharing bersama komunitasnya, misalnya satu mobil digunakan bergantian dalam satu lingkungan bertetangga. Ia juga menyarankan untuk mengkonsumsi makanan lokal dan produk lokal, sebab makanan atau produk impor membutuhkan transportasi ribuan kilometer untuk sampai ke tangan kita.

Menurut Roni, konsep gaya hidup minimalis sejalan dengan gaya hidup green living yang sedang dipropagandakan di mana-mana. Misi penyelamatan bumi, kaatnya, hendaknya tidaklah di level seremonial atau tren sesaat saja. Gaya hidup peduli lingkungan ini harus menjadi gaya hidup yang dipraktekkan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang mencakup segala aspek dalam hidup.  

Leo Babauta kini tinggal di San Francisco (sebelumnya di Guam) bersama istri dan enam anaknya, dan bekerja sebagai penulis. Ia sudah menulis banyak buku, antara lain, The Power of Less, 52 Changes, The Effortless Life and Focus, dan Zen To Done: The Simple Guide to a Minimalist Life, The Little Guide to Un-Procrastination.

Adapun si Mbah Jiwo, mengaku baru setahun dua tahun ini menjalani hidup minimalis. Ia telah membagi berak-rak buku miliknya, dan menyisakan tinggal satu rak berisi buku “Yang kira-kira menurut perasaan saya masih bermanfaat dan akan saya baca suatu hari nanti. Selebihnya sudah saya sumbangkan.”

Baju-baju Mbah Jiwo yang dulu satu lemari, kini cuma tinggal beberapa potong saja. Komputer, ponsel, blog, dan semua yang ada di sekitar mbah, semuanya sudah di-minimal-kan, dikurangi sampai benar-benar yang penting saja yang tersisa.

Ia bahkan pernah mencoba gaya baru yang lebih minimalis, yaitu, gaya hidup dalam sekotak koper seperti yang ditempuh Heidemarie Schwermer. Ia mengepak semua baju dan kebutuhan dasarnya dalam sebuah koper besar, dan kepada istrinya, ia mengatakan, “Ini kosanku yang di dalam koper, simple ya?’

Mbah Jiwo mengaku sejak menempuh gaya hidup minimalis yang ekstrem, setidaknya ia sudah melakukan tiga hal. Yakni, memperbarui mindset hidup minimalis, memperbarui penggunaan twitter dan facebook, dan memperbarui penggunaan blognya, mbahjiwo.com.

“Saya menghapus daftar follow di twitter, yang setelah saya amati, memang banyak yang kurang berguna, cuma sibuk ha ha hi hi. Oke, saya juga sibuk ha ha hi hi, tapi kalau yang saya follow juga ha ha hi hi, kan repot jadinya?”

Ia mengaku daftar follow-nya sudah berkurang dari sekitar 350-an menjadi sekitar 190. “Alhamdulillah, ternyata lebih nikmat, lebih khusyuk mengikuti twit teman-teman, dan orang-orang yang memang saya ingin dengarkan.”

Di blog miliknya, ia menghapus banyak hal, mulai dari kategori, blogfriend, dan seterusnya, lalu diubah menjadi sub blog inspirator dan motivator. Ia mengaku sempat sedih melakukan hal itu, namun ia terpaksa melakukannya, karena sebelumnya “Saya sibuk nggak jelas!”

“Saya tidak akan memikirkan yang tidak perlu, saya berusaha tidak berucap yang tidak perlu, saya tidak perlu sakit hati (misalnya), karena sakit hati itu 100% tidak pernah perlu. Di situ saya berusaha minimalis,” begitu Mbah Jiwo menulis.


Berawal dari Kehampaan Hidup

Perjalanan hidup sesorang memang sulit ditebak. Ketika sebagian besar orang bekerja ekstra keras dalam hidupnya demi mencapai kebahagiaan dengan ukuran materi berlimpah, dua anak muda ini justru merasakan kekosongan hidup ketika telah mencapai taraf kesejahteraan ekonomi.

Mendekati usia 30 beberapa tahun lalu, Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus merasa telah berhasil mewujudkan semua keinginan hidup yang mampu membuat mereka bahagia. Mereka menduduki posisi mapan dalam sebuah korporasi besar, mobil mewah, rumah besar dengan kamar yang melebihi jumlah penghuninya, hingga benda-benda modern lain untuk kenyamanan hidup.

Dengan semua yang telah dimiliki, mereka menyadari hidup mereka belum memuaskan. Mereka belum sepenuhnya bahagia, bahkan menyadari bahwa bekerja keras 70-90 jam per minggu, menghasilkan uang banyak untuk membeli lebih banyak barang, justru kian menjauhkan mereka dari kebahagiaan hidup. Yang muncul justru keletihan, stres, ketakutan, kesepian, yang berujung pada depresi.

Lantas apa yang salah? “Kami menemukan bahwa ternyata kami tidak mampu mengendalikan waktu dan hidup kami sendiri. Sejak itu, kami memilih hidup minimalis, menjauhkan keinginan,  dan lebih fokus pada hal-hal yang lebih penting dari kehidupan,” begitu tulis Joshua dan Ryan dalam blognya, theminimalist.com.

Pada 2011, Joshua mengundurkan diri dari pekerjaan, dan memutuskan menjadi penulis dan pembicara. Kini mereka sudah menulis sedikitnya tujuh buku best seller, dan sudah berkeliling dunia melakukan book tour dan sesi mentoring yang dihadiri ribuan orang.

Situs itu sendiri mereka bangun sejak Desember 2010, dan sudah memiliki 100 ribu pembaca per bulannya. Mereka pun sudah tampil di beragam acara dan media, mulai dari CBS This Morning, ABC, NBC, FOX, NPR, CBC Radio, Wall Street Journal, USA Today, New York Times, Forbes, Elle magazine, Boston Globe, San Francisco Chronicle, San Francisco Examiner, Chicago Tribune, Chicago Sun-Times, Seattle Times, Toronto Star, Globe & Mail, Vancouver Sun, Village Voice, LA Weekly, Zen Habits, dan lainnya.

Mereka juga pernah diundang berbicara di banyak lembaga dan konferensi bergengsi, seperti, Harvard Business School, SXSW, World Domination Summit,  dan puluhan event-event lainnya. Pada akhir 2012 lalu, mereka meninggalkan rumah dan kampung halamannya di Dayton, Ohio, dan tinggal di sebuah kabin di Montana selama empat bulan, lalu ke Missoula.

Dalam blognya, Joshua mengaku tertarik menjalani hidup minimalis sejak akhir 2009, terutama sejak ibunya meninggal, dan pernikahannya berantakan di bulan yang sama. “Ketika saya mulai mempertanyakan segala sesuatu dalam hidup, saya menemukan konsep minimalisme. Rasanya seperti menemukan lentera di tengah kegelapan malam,” tulis Joshua.

Sebelumnya, Joshua bekerja di perusahaan besar dengan berbagai posisi penting selama 12 tahun. Sebagai regional manager, ia memimpin ratusan anak buah yang tersebar di 16 toko retail, sekaligus menjabat direktur operasi untuk 150 toko retail.

Joshua yang mengaku hanya memiliki kurang dari 288 benda, kerap melakukan berbagai eksperimen hidup minimalis, misalnya, tidak menyentuh internet. Televisi, dan telepon selama dua bulan, puasa membeli barang selama setahun, bahkan eksperimen hidup tanpa tujuan.

“Hidup seperti ini bagi banyak orang mungkin tidak nyaman. Namun saya ingin menguji diri dan cara hidup agar saya bisa berkembang. Saya menyadari bahwa perkembangan terjadi ketika kita berani keluar zona nyaman dan memasuki wilayah tidak nyaman.”

Tahun lalu, Joshua, Ryan, dan seorang teman lain bernama Colin Wright, mendirikan perusahaan sekaligus komunitas bernama Asymmetrical Press. Perusahaan ini memberikan pengajaran dan kursus dalam hal tulis menulis yang baik dan benar, mulai dari penulisan jurnalisme, literatur, pusisi, buku nonfiksi, buku-bubku pelajaran, hingga buku-buku coffee table.

Sementara itu, Ryan Nicodemus yang lahir Knoxville, Tennessee, AS, pada 1981, mengaku sebelumnya menggandrungi banyak hobi. Ia menjalani hidup dalam “corporate dream” sampai suatu saat ia diberhentikan dari pekerjaannya. “Namun itulah kejadian terbaik dalam hidup saya. Sekarang saya memiliki hidup yang jauh lebih berarti.”

Artikel ini dimuat di Majalah Men's Obsession edisi 112, Mei 2013


Add to Flipboard Magazine.

Tulis Komentar:


Anda harus login sebagai member untuk bisa memberikan komentar.

                               
   

Popular

Photo Gallery

Visitor


Jumlah Member Saat ini: 233250