Muhammad Hatta Ali, Mereformasi MA Bukan Hal Mudah

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 23 September 2017

Naskah: Sahrudi, Foto: Sutanto & Dok. Pribadi

Kurang lebih 39 tahun sudah ia mengabdikan diri di dunia hukum, tepatnya di lembaga pengadilan sampai kemudian menjabat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA). Sebagai ‘pintu’ terakhir pengadilan, Prof. Dr. H. Muhammad Hatta Ali, S.H, M.H bertekad menjadikan MA sebagai  lembaga yang kredibel dan tentunya berwibawa. Tapi, ia mengakui bahwa reformasi MA bukanlah proses yang mudah.

 

Ketika dilantik sebagai Ketua MA, pada saat itu juga Hatta Ali memahami adanya harapan besar publik kepada lembaga ini agar menghasilkan hakim-hakim yang profesional dan ‘bersih’. Wajar, karena ia bukan orang baru di MA dan track record nya juga sangat baik di lingkungan tempat orang mencari keadilan ini.


Ya, pria kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, 7 April 1950 ini adalah pejabat karier di MA. Boleh dikata, kariernya dihabiskan di institusi hukum. Sejak menjadi Pegawai Negeri di Menteri Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan HAM-red) kariernya terus melangkah naik. Pernah jadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Gorontalo, Ketua PN Bitung, PN Manado, dan PN Tangerang dan semakin moncer saat menjabat sebagai Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali, pada tahun 2003. Sampai kemudian ditarik ke Jakarta untuk menjadi Sekretaris Ketua MA.


Siapa sangka disitulah karier Hatta Ali di lembaga yudikatif ini beranjak naik menjadi Hakim Agung, dan Ketua Muda Pengawasan MA sampai kemudian ia terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna pemilihan ketua MA, yang digelar di Ruang Kusuma Atmadja, Gedung MA Jakarta, pada 8 Februari 2012 dengan jabatan hingga tahun 2017. Tapi, ketika masa baktinya habis di bulan Februari 2017, ia terpilih kembali sebagai Ketua MA untuk periode 2017-2022.  Ia mendapatkan lebih dari 50 persen suara atau sebanyak 38 suara dari 47 suara yang diberikan oleh 47 orang Hakim Agung.


Diakui, sesaat setelah dilantik, tugas berat sudah menanti. Misalnya kebijakan penerapan sistem kamar yang dicanangkan Ketua Mahkamah Agung sebelumnya masih merupakan cikal bakal. Selain itu juga issu utama yang menjadi tuntutan masyarakat adalah penumpukan perkara di Mahkamah Agung yang sekian lama belum diputus.


Ia juga bercerita bagaimana ia harus menghadapi kasus seorang Hakim Agung yang diduga merubah amar putusan ketika itu dan menjadi pemberitaan. “Ketika itu saya segera perintahkan sebagian pimpinan dan Badan Pengawasan (BAWAS) Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksaan pada Hakim Agung yang bersangkutan dan bila cukup bukti agar diajukan ke sidang Majelis Kehormatan Hakim (Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial) untuk diberhentikan dengan tidak hormat,” tegasnya.


Hal itu, ia sadari dapat menimbulkan kesan yang kurang baik bagi dunia peradilan karena baru pertama kali ada seorang Hakim Agung diberhentikan dengan tidak hormat.


“Menurut saya kesalahan seperti ini, apalagi dilakukan oleh Hakim Agung yang notabene merupakan puncak jabatan seorang Hakim Karir, maka tiada maaf dan tidak ada toleransi. Mudah-mudahan kejadian seperti ini tidak pernah terulang lagi,” ungkapnya.